Semua berawal dari keinginan
colombus untuk berlayar ke India. Perjalanan yang di danai Ratu isabela dari
kastilia spanyol ini berorientasi untuk mencari wilayah perluasan kekuasaan.
Namun pada tahun 1492, Colombus justru kesasar ke Bahama. Namun colombus tetap
“ngeyel” bahwa dia sudah sampai di india. Bahkan, ketika bertemu dengan
penduduk asli (sudah ada manusia lho sebelum Colombus ), Colombus justru
menyebut mereka sebagai Indian (orang india). Sejarah mencatat, pembantian
terhadap orang Indian pun tak terhindarkan.
Salah paham dari para penjelajah
bangsa kulit putih seperti Colombus ini meluas, sehingga orang-orang kulit
putih mengira bahwa yang terbentang dari Persia dan tiongkok adalah India.
Tidak heran, jika orang belanda pun
ikut-ikutan salah paham. Mengira pulau dari sabang sampai merauke itu sebagai India
juga (ost india/india timur). Jadilah kita pada masa penjajahan dahulu disebut
orang “indie”, dengan pemerintahan Hindia-belanda.
Anggapan bahwa kita ini termasuk orang
india terus berlanjut sampai Pada tahun 1850, sebuah majalah ilmiah tahunan Journal of the Indian Archipelago and
Eastern Asia yang terbit di Singapura memuat artikel dari Seorang ahli
etnologi dari Inggris, George Samuel Windsor Earl. Dalam artikel itu Earl
mengusulkan dua nama, Indunesia dan Melayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau).
Dalam surat kabar yang sama, James
Richardson Logan dari Skotlandia juga menulis sebuah artikel yang intinya sama,
yaitu perlunya nama khas bagi kepulauan ini. Karena nama Indian Archipelago
(kepulauan Hindia) menurutnya terlalu panjang dan membingungkan. Maka dia
memungut nama Indunesia yang dibuang Earl, dan huruf “U” diganti dengan “O”
agar lebih mudah diucapkan. Alasan Logan memilih nama ini adalah karena dia
lebih suka menggunakan istilah Geografis murni “Indonesia” yang merupakan sinonim
dari kepulauan Hindia daripada istilah Etnografi Melayunesia yang diusulkan
Earl.
Sejak saat itu Logan konsisten
menggunakan nama Indonesia dalam tulisan-tulisan ilmiahnya. Dan lambat laun
istilah ini menyebar ke kalangan ilmuwan bidang etnologi dan geografi. Sampai
pada dasawarsa 1920-an, nama Indonesia yang merupakan istilah dalam ilmu
etnografi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan pejuang
kemerdekaan. Sehingga nama Indonesia memiliki makna politis, yaitu identitas
suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaannya atas penjajah (Belanda). Salah
satunya adalah Indische Vereeniging
yang berubah menjadi Perhimpunan Indonesia.
Perhimpunan Indonesia sendiri adalah
sebuah organisasi yang bertujuan untuk memperjuangkan hak-hak warga Indonesia
dari penjajah. Tokoh-tokoh yang tergabung dalam organisasi ini antara lain: Iwa
koesoema Soemantri, Nazir pamoentjak, A.A Maramis, Soekiman Wirosandjojo,
Mohammad Hatta, dan lain-lain. Sebelumnya, kelompok ini bernama Indische Vereeniging. Baru pada rapat
anggota tanggal 8 Februari 1925 nama Indonesische
Vereeniging diganti menjadi “Perhimpunan Indonesia”. Berawal dari sini,
organisasi ini mulai memperkenalkan nama Indonesia ke kancah internasional.
Pada tahun 1926 di kota Bierville,
Prancis diadakan sebuah kongres untuk perdamaian yang dihadiri oleh berbagai
negeri di dunia. Perhimpunan Indonesiapun mengirimkan delegasi untuk menghadiri
acara tersebut dalam rangka melanjutkan propagandanya. Mohammad Hatta, yang
waktu itu menjabat sebagai ketua Perhimpunan Indonesia mendapat kesempatan
berpidato dalam kongres tersebut. Beliau dan beberapa delegasi dari Asia
menyampaikan resolusi yang intinya bahwa penindasan terhadap bangsa-bangsa lain
bertentangan dengan jiwa perdamaian. Dan pentingnya Kebebasan bagi
bangsa-bangsa untuk menentukan nasib sendiri.
Resolusi yang disampaikan tersebut
diterima oleh kongres dengan suara hebat. Penerimaan itu tidak saja mengakui
hak tiap-tiap bangsa untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi juga mengesahkan
tiap-tiap perjuangan untuk menjatuhkan kekuasaan kolonial.
Langkah pertama untuk memperkenalkan
Tanah Air kita Indonesia di luar negeri dibuat dengan berhasil. Nama
“Indonesia” tidak perlu diajukan dalam resolusi. Selama M. Hatta berada di sana
dan setelah mendengar pidato dari beliau pada pembukaan kongres, semua orang di
sana menyebut Indonesia. Orang-orang Belanda yang pada pembukaan masih menyebut
“Hindia-Belanda”, kata itu tidak diulangi mereka lagi. Dalam perdebatan ataupun
dalam pembicaraan lainnya. Dalam tulisan-tulisan mereka ke luar, kepada kawan
dan keterangan umum, mereka sebut “Indonesia”. Dalam agenda pimpinan kongres,
nama Indonesia telah terekam. Tidak dapat ditukar kembali dengan
Hindia-Belanda (indies-neerlandaises).
Akhirnya, Indonesia menjadi nama
dari Negara tercinta kita. Kita semua wajib bangga dengan nama yang sudah kita
sandang ini, dan berjuang untuk kemakmurannya. Hidup Indonesia!
Oya, Indonesia sendiri secara bahasa
dapat diartikan sebagai “kepulauan Hindia”, karena kata ini merupakan sinonim
dari Indian Archipelago.
#Rihannan, Njajar 2013
#Rihannan, Njajar 2013
referensi
:
2. Mohammad
Hatta, Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi
Sebuah Otobiografi, Jakarta: Kompas, 2011, Hal.97
Tidak ada komentar:
Posting Komentar