Senin, 03 Februari 2014

Estetika Marxisme Dalam Sastra



                                    ESTETIKA MARXISME DALAM SASTRA

            Baiklah, mari kita memulainya dengan menata akal dan hati untuk mempercayai bahwa segala sesuatu selalu memiliki sisi positif. Bahkan bagi hal yang Kontroversial sekalipun. Nah, maka dengan meredam amarah mungkin dapat membantu manusia dalam menemukan sisi positif dari setiap hal.

            Bagaimana jika kita mencoba untuk melihat sebuah seni, sebuah keindahan yang bersumber dari pemikiran yang “terlarang” di negeri ini: Estetika Marxisme dalam sastra. Kiranya perlu dijelaskan, bahwa pengangkatan tema ini bukan untuk mengklaim si dia atau mereka adalah marxis, dan juga tidak untuk mendakwahkan ajaran marxis agar kita menjadi “umatnya”. Namun tujuan utamanya adalah untuk melihat  apa/bagaimana pengaruh ajaran Karl Mark (Marxisme) dalam sastra.

            Yang pertama, tentunya perlu kita ketahui apa itu Marxisme? Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx. Sebuah pandangan yang mencakup materialisme historis dan materialisme dialektis. Maksudnya, Marx memandang bahwa masyarakat tidak terbentuk melalui proses sejarah yang damai, tapi yang penuh konflik antar kelas. Konflik antara pemilik alat produksi dan modal versus petani dan buruh (borjuis vs. proletar). Tapi ini tidak berarti kelas-kelas sosial itu berdiri diluar sejarah. Mereka tidak menggerakkan sejarah sesuai kehendak mereka, tapi berdasarkan lingkungan sosial yang mereka hadapi. Pemahaman terhadap realitas sosial selalu terdiri dari dua hal yang saling berkaitan secara dialektis. Maka Marx mengatakan bahwa peralihan ke sosialisme, tidak bisa dipaksakan. Namun harus beriringan dengan pembentukan kaum proletar yang memiliki kesadaran (kesadaran untuk membela kelasnya).

      Lalu, apa hubungannya antara perjuangan kelas (yang tertindas kepada penindas) ini dengan sastra? Sederhananya begini. Seni sastra, tidak hanya dinilai dari keindahannya saja. Melainkan, sastra juga dapat dinilai dari isi perjuangan yang ada di dalamnya. Ya, sastra dapat menjadi senjata perlawanan. Perlawanan siapa? Tentu perlawanan dari kaum tertindas kepada kaum penindas. Nah, maka  jika kita ingin membuat sebuah sastra perjuangan/perlawanan, tidak ada salahnya jika memetik pelajaran/pengaruh dari marxisme (silahkan dikaji tentang cirri atau tokoh sastrawan yang terpengaruh marxis).

           Dan, hal terakhir dan terpenting menurut kami adalah, ketika kita hendak berjuang, bisa menggunakan senjata sastra. Dan Ketika hendak menyampaikan pendapat, juga bisa menggunakan perantara sastra.

“kita bertanya, kenapa maksud baik tidak selalu berguna?”.
Orang berkata. “kami bermaksud baik”
Dan Kami bertanya. “maksud baik saudara untuk siapa?”
Ya, ada yang jaya – ada yang terhina!
Ada yang bersenjata – ada yangterluka!
Ada yang duduk – ada yang diduduki!
Ada yang berlimpah – ada yang terkuras!
Dan kita di sini bertanya. “maksud baik saudara untuk siapa? Saudara berdiri di pihak mana?
Kenapa maksud baik dilakukan, tapi makin banyak petani kehilangan tanahnya, tanah-tanah di gunung menjadi milik orang-orang kota, perkebunan yang luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja, alat-alat kemajuan diimport tidak cocok bagi petani yang sempit tanahnya.

Tentu saja kita bertanya. “Maksud baik saudara untuk siapa??”
(WS RENDRA)

(Nb : manusia yang sedang belajar memang wajib menerima saran dan cacian yang cerdas dan mencerdaskan, sebagai bahan dalam proses pendewasaan dan pencerdasan jiwa serta pikiran. Janganlah sungkan untuk mengasih secuil saran atau sebentak cacian cerdas kalian)

#Rihanan, Njajar-Salamrejo 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar