ESTETIKA
MARXISME DALAM SASTRA

Bagaimana jika
kita mencoba untuk melihat sebuah seni, sebuah keindahan yang bersumber dari
pemikiran yang “terlarang” di negeri ini: Estetika Marxisme dalam sastra. Kiranya
perlu dijelaskan, bahwa pengangkatan tema ini bukan untuk mengklaim si dia atau
mereka adalah marxis, dan juga tidak untuk mendakwahkan ajaran marxis agar kita
menjadi “umatnya”. Namun tujuan utamanya adalah untuk melihat apa/bagaimana pengaruh ajaran Karl Mark
(Marxisme) dalam sastra.
Yang pertama,
tentunya perlu kita ketahui apa itu Marxisme? Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti
pandangan-pandangan dari Karl Marx. Sebuah pandangan yang mencakup materialisme historis
dan materialisme dialektis. Maksudnya, Marx memandang bahwa masyarakat tidak
terbentuk melalui proses sejarah yang damai, tapi yang penuh konflik antar
kelas. Konflik antara pemilik alat produksi dan modal versus petani dan buruh
(borjuis vs. proletar). Tapi ini tidak berarti kelas-kelas sosial itu berdiri
diluar sejarah. Mereka tidak menggerakkan sejarah sesuai kehendak mereka, tapi
berdasarkan lingkungan sosial yang mereka hadapi. Pemahaman terhadap realitas
sosial selalu terdiri dari dua hal yang saling berkaitan secara dialektis. Maka
Marx mengatakan bahwa peralihan ke sosialisme, tidak bisa dipaksakan. Namun
harus beriringan dengan pembentukan kaum proletar yang memiliki kesadaran
(kesadaran untuk membela kelasnya).
Lalu, apa hubungannya antara perjuangan
kelas (yang tertindas kepada penindas) ini dengan sastra? Sederhananya begini.
Seni sastra, tidak hanya dinilai dari keindahannya saja. Melainkan, sastra juga
dapat dinilai dari isi perjuangan yang ada di dalamnya. Ya, sastra dapat
menjadi senjata perlawanan. Perlawanan siapa? Tentu perlawanan dari kaum
tertindas kepada kaum penindas. Nah, maka jika kita ingin membuat sebuah sastra perjuangan/perlawanan,
tidak ada salahnya jika memetik pelajaran/pengaruh dari marxisme (silahkan
dikaji tentang cirri atau tokoh sastrawan yang terpengaruh marxis).
Dan, hal terakhir dan terpenting
menurut kami adalah, ketika kita hendak berjuang, bisa menggunakan senjata
sastra. Dan Ketika hendak menyampaikan pendapat, juga bisa menggunakan
perantara sastra.
“kita bertanya, kenapa maksud
baik tidak selalu berguna?”.
Orang berkata. “kami bermaksud
baik”
Dan Kami bertanya. “maksud baik
saudara untuk siapa?”
Ya, ada yang jaya – ada yang
terhina!
Ada yang bersenjata – ada
yangterluka!
Ada yang duduk – ada yang
diduduki!
Ada yang berlimpah – ada yang terkuras!
Dan kita di sini bertanya. “maksud baik saudara untuk siapa?
Saudara berdiri di pihak mana?
Kenapa maksud baik dilakukan, tapi makin banyak petani kehilangan
tanahnya, tanah-tanah di gunung menjadi milik orang-orang kota, perkebunan yang
luas hanya menguntungkan segolongan kecil saja, alat-alat kemajuan diimport
tidak cocok bagi petani yang sempit tanahnya.
Tentu saja kita bertanya. “Maksud baik saudara untuk siapa??”
(WS RENDRA)
(Nb : manusia yang sedang belajar memang wajib menerima saran dan
cacian yang cerdas dan mencerdaskan, sebagai bahan dalam proses pendewasaan dan
pencerdasan jiwa serta pikiran. Janganlah sungkan untuk mengasih secuil saran
atau sebentak cacian cerdas kalian)
#Rihanan, Njajar-Salamrejo 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar