
HARAPAN
DARI PUING-PUING PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh
: Samsul Rihanan
Judul Buku :
Rekonstruksi Pendidikan Nasional
Penulis :
Ngainun Naim
Penerbit :
Teras
Tahun :2009
Jumlah Halaman : 290
ISBN :
979-9781-78-7
Kita memang akan sedikit menundukkan
kepala jika membandingkan dunia pendidikan di Negara kita, dengan Negara tetangga,
Malaysia dan Singapura misalnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa iklim pendidikan
di Negeri tetangga kita itu memang lebih “hijau”. Hal ini bisa kita lihat dari
banyaknya pelajar Indonesia yang merantau ke luar negeri demi mendapatkan
pendidikan yang berkualitas. Hal ini tentu berbeda dengan beberapa puluh tahun
yang lalu, dimana pendidikan Indonesia dijadikan ladang ilmu bagi pelajar Negara-negara
tetangga.
Ketertinggalan pendidikan kita juga
semakin jelas terlihat apabila kita melihat fakta di lapangan terkait dengan
tawuran antar pelajar, sex bebas, narkoba, dan kenakalan-kenakalan lainnya yang
kerapkali dilakukan oleh siswa didik. Sosok yang seharusnya mampu menjadi
harapan bangsa karena secara langsung mendapatkan pendidikan, namun justru
melakukan perbuatan-perbuatan yang kurang terdidik.
Pemerintah, dalam hal ini sudah
banyak melakukan ikhtiar-ikhtiar guna mengatasi berbagai masalah yang melilit
dunia pendidikan di tanah air. Namun, sampai detik ini dirasa belum menunjukkan
hasil yang memuaskan. Alih-alih justru setiap kebijakan yang diambil pemerintah
dikritik oleh banyak kalangan karena kebijakan-kebijakan tersebut dinilai
justru menambah masalah pendidikan. Contoh kecil perubahan kurikulum dan ujian
Nasional. Dua kebijakan ini tidak henti-hentinya mendapat kecaman dari para
pelaku pendidikan. Belum lagi masalah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional) yang akhirnya dihapuskan, semakin mencoreng nama baik pemerintah
dan menambah kabut kelam dunia pendidikan kita.
Bertumpuknya masalah serta ikhtiar
penyelesaian dari pemerintah yang terus menerus menuai pro-kontra terasa cukup
mengguncang dunia pendidikan tanah air. Pendidikan kita semakin lama semakin
merosot kualitasnya. Hal itulah yang dapat kita lihat dari dunia pendidikan
kita saat ini.
Namun harapan selalu ada di tengah
badai masalah. kita masih bisa membangun kembali dunia pendidikan yang kokoh
dengan sisa puing-puing yang kita punyai saat ini. Hal itulah yang ingin dijabarkan
oleh DR. Ngainun Naim dalam bukunya yang berjudul “Rekonstruksi Pendidikan
Nasional”. “tidak hanya mengupas potret buram pendidikan kita, namun juga
memberikan beberapa resep dan menawarkan ramuan jitu atas berbagai persoalan
dan wabah penyakit yang menjangkiti dunia pendidikan kita saat ini”. Begitulah
coretan yang tertulis dalam synopsis buku ini.
Salah satu masalah pendidikan yang
dibahas dalam buku ini adalah kurikulum yang kurang mencerdaskan. Dikatakan
kurang mencerdaskan karena karakteristik kurikulum yang dikembangkan kurang
progresif. Rumusannya masih berkisar untuk menjawab masalah kekinian, dan belum
mampu memprediksikan persoalan 5 atau 10 tahun kedepan. Di Negara-negara maju,
kurikulum bersifat progresif karena bersifat antisipatif terhadapa tantangan
kehidupan di masa yang akan datang.
Media juga dinilai banyak memberikan
ekses negative bagi dunia pendidikan. Masuknya berbagai perangkat baru
teknologi komunikasi dan informasi seperti internet dan hand phone, selain
memberikan dampak positif, juga menyisakan setumpuk ekses negative. Arus
persebaran pornografi lewat media internet dan HP berlangsung cepat dan
memiliki jangkauan luas. Hal ini tentu berpengaruh pada akhlak dan moral siswa,
serta pelaku pendidikan lainnya.
Buruknya infrastruktur juga
merupakan kendala yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sekolah-sekolah di
daerah pelosok bahkan belum sempat memikirkan pendidikan yang berkualitas
karena mencari tempat belajar saja susah disebabkan gedung sekolah yang roboh.
Hal ini bisa jadi karena pemerintah lebih sibuk memikirkan kebijaka yang secara
politis lebih strategis daripada kebijakan yang sifatnya praktis.
Perilaku masyarakat yang seringkali
mabuk gelar juga tidak luput dari pembahasan buku ini. Memang, sebuah gelar
akademis memiliki makna yang sangat penting. Gelar tersebut mencerminkan
kualitas yang selaras dengan pemiliknya. Kompetensi seseorang akan semakin
lengkap manakala deretan gelarnya juga semakin panjang. Tetapi nampaknya
kebanggan terhadap gelar ini telah mengalami degradasi. Gelar yang melekat
belum tentu menjamin pemiliknya memiliki kompetensi yang sesuai dengan gelar
yang dimiliki. Hal ini disebabkan belakangan makin banyak usaha-usaha
komersialisasi gelar.
Kemudian tidak hanya membeberkan
potret buram dunia pendidikan kita, buku ini juga memberikan resep guna
mengobati penyakit yang melanda dunia pendidikan tanah air. Antara lain beliau
mengatakan bahwa perlunya membangun mentalitas climbers. Mental climbers
adalah mental yang tidak gampang menyerah, terus berjuang sampai
mendapatkan tujuan sebagaimana seorang pendaki gunung yang tidak akan menyerah
sebelum sampai ke puncak. Hal ini penting untuk direnungkan, karena selama ini
sekolah cenderung menitik beratkan pengajaran pada aspek kognitif yang diukur
dari pemahaman siswa pada mata pelajaran, sehingga kurang memperhatikan aspek
mentalitas siswa.
Selain itu, pendidikan sudah
seharusnya mendidik selaras dengan kecerdasan dan potensi yang dimiliki siswa.
Maksudnya, sekolah juga memberikan ruang dan kesempatan bagi siswa untuk
mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Tidak hanya membebani siswa dengan
mata pelajaran standart kurikulum.
Selanjutnya adalah membaca. Ya,
membaca memang selalu menjadi resep ampuh untuk meningkatkan kualitas dan
wawasan diri. Namun sayangnya, pendidikan kita tidak menganjurkan bagaimana
mencintai membaca dan menulis. Inilah kecelakaan terbesar bangsa Indonesia.
Begitulah ucapan Suparto Broto yang dikutip dalam buku ini. Persoalan lemahnya
minat baca masyarakat Indonesia memang menjadi persoalan sejak lama. Dengan
kondisi minat baca yang rendah, nampaknya terlalu berat bagi bangsa Indonesia
untuk berkompetisi dengan bangsa lain. Kompetisi global membutuhkan kualitas
SDM yang kompatibel. Dan kualitas SDM yang seperti ini hanya akan tercipta
dalam masyarakat yang memiliki tradisi membaca yang kokoh.
Akhirnya, seberat apapun beban
masalah yang menimpa dunia pendidikan kita, selalau ada harapan dan kesempatan
untuk memperbaikinya. Semua itu, harus kita mulai dari diri kita sendiri
sebagai pelaku pendidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar