Minggu, 02 Februari 2014

Resensi buku:Rekonstruksi pendidikan nasional



HARAPAN DARI PUING-PUING PENDIDIKAN NASIONAL
Oleh : Samsul Rihanan
Judul Buku                  : Rekonstruksi Pendidikan Nasional
Penulis                         : Ngainun Naim
Penerbit                       : Teras
Tahun                          :2009
Jumlah Halaman          : 290
ISBN                           : 979-9781-78-7

            Kita memang akan sedikit menundukkan kepala jika membandingkan dunia pendidikan di Negara kita, dengan Negara tetangga, Malaysia dan Singapura misalnya. Tidak dapat dipungkiri bahwa iklim pendidikan di Negeri tetangga kita itu memang lebih “hijau”. Hal ini bisa kita lihat dari banyaknya pelajar Indonesia yang merantau ke luar negeri demi mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Hal ini tentu berbeda dengan beberapa puluh tahun yang lalu, dimana pendidikan Indonesia dijadikan ladang ilmu bagi pelajar Negara-negara tetangga.
            Ketertinggalan pendidikan kita juga semakin jelas terlihat apabila kita melihat fakta di lapangan terkait dengan tawuran antar pelajar, sex bebas, narkoba, dan kenakalan-kenakalan lainnya yang kerapkali dilakukan oleh siswa didik. Sosok yang seharusnya mampu menjadi harapan bangsa karena secara langsung mendapatkan pendidikan, namun justru melakukan perbuatan-perbuatan yang kurang terdidik.
            Pemerintah, dalam hal ini sudah banyak melakukan ikhtiar-ikhtiar guna mengatasi berbagai masalah yang melilit dunia pendidikan di tanah air. Namun, sampai detik ini dirasa belum menunjukkan hasil yang memuaskan. Alih-alih justru setiap kebijakan yang diambil pemerintah dikritik oleh banyak kalangan karena kebijakan-kebijakan tersebut dinilai justru menambah masalah pendidikan. Contoh kecil perubahan kurikulum dan ujian Nasional. Dua kebijakan ini tidak henti-hentinya mendapat kecaman dari para pelaku pendidikan. Belum lagi masalah RSBI (Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional) yang akhirnya dihapuskan, semakin mencoreng nama baik pemerintah dan menambah kabut kelam dunia pendidikan kita.
            Bertumpuknya masalah serta ikhtiar penyelesaian dari pemerintah yang terus menerus menuai pro-kontra terasa cukup mengguncang dunia pendidikan tanah air. Pendidikan kita semakin lama semakin merosot kualitasnya. Hal itulah yang dapat kita lihat dari dunia pendidikan kita saat ini.
            Namun harapan selalu ada di tengah badai masalah. kita masih bisa membangun kembali dunia pendidikan yang kokoh dengan sisa puing-puing yang kita punyai saat ini. Hal itulah yang ingin dijabarkan oleh DR. Ngainun Naim dalam bukunya yang berjudul “Rekonstruksi Pendidikan Nasional”. “tidak hanya mengupas potret buram pendidikan kita, namun juga memberikan beberapa resep dan menawarkan ramuan jitu atas berbagai persoalan dan wabah penyakit yang menjangkiti dunia pendidikan kita saat ini”. Begitulah coretan yang tertulis dalam synopsis buku ini.
            Salah satu masalah pendidikan yang dibahas dalam buku ini adalah kurikulum yang kurang mencerdaskan. Dikatakan kurang mencerdaskan karena karakteristik kurikulum yang dikembangkan kurang progresif. Rumusannya masih berkisar untuk menjawab masalah kekinian, dan belum mampu memprediksikan persoalan 5 atau 10 tahun kedepan. Di Negara-negara maju, kurikulum bersifat progresif karena bersifat antisipatif terhadapa tantangan kehidupan di masa yang akan datang.
            Media juga dinilai banyak memberikan ekses negative bagi dunia pendidikan. Masuknya berbagai perangkat baru teknologi komunikasi dan informasi seperti internet dan hand phone, selain memberikan dampak positif, juga menyisakan setumpuk ekses negative. Arus persebaran pornografi lewat media internet dan HP berlangsung cepat dan memiliki jangkauan luas. Hal ini tentu berpengaruh pada akhlak dan moral siswa, serta pelaku pendidikan lainnya.
            Buruknya infrastruktur juga merupakan kendala yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Sekolah-sekolah di daerah pelosok bahkan belum sempat memikirkan pendidikan yang berkualitas karena mencari tempat belajar saja susah disebabkan gedung sekolah yang roboh. Hal ini bisa jadi karena pemerintah lebih sibuk memikirkan kebijaka yang secara politis lebih strategis daripada kebijakan yang sifatnya praktis.
            Perilaku masyarakat yang seringkali mabuk gelar juga tidak luput dari pembahasan buku ini. Memang, sebuah gelar akademis memiliki makna yang sangat penting. Gelar tersebut mencerminkan kualitas yang selaras dengan pemiliknya. Kompetensi seseorang akan semakin lengkap manakala deretan gelarnya juga semakin panjang. Tetapi nampaknya kebanggan terhadap gelar ini telah mengalami degradasi. Gelar yang melekat belum tentu menjamin pemiliknya memiliki kompetensi yang sesuai dengan gelar yang dimiliki. Hal ini disebabkan belakangan makin banyak usaha-usaha komersialisasi gelar.
            Kemudian tidak hanya membeberkan potret buram dunia pendidikan kita, buku ini juga memberikan resep guna mengobati penyakit yang melanda dunia pendidikan tanah air. Antara lain beliau mengatakan bahwa perlunya membangun mentalitas climbers. Mental climbers adalah mental yang tidak gampang menyerah, terus berjuang sampai mendapatkan tujuan sebagaimana seorang pendaki gunung yang tidak akan menyerah sebelum sampai ke puncak. Hal ini penting untuk direnungkan, karena selama ini sekolah cenderung menitik beratkan pengajaran pada aspek kognitif yang diukur dari pemahaman siswa pada mata pelajaran, sehingga kurang memperhatikan aspek mentalitas siswa.
            Selain itu, pendidikan sudah seharusnya mendidik selaras dengan kecerdasan dan potensi yang dimiliki siswa. Maksudnya, sekolah juga memberikan ruang dan kesempatan bagi siswa untuk mengembangkan potensi diri yang dimiliki. Tidak hanya membebani siswa dengan mata pelajaran standart kurikulum.
            Selanjutnya adalah membaca. Ya, membaca memang selalu menjadi resep ampuh untuk meningkatkan kualitas dan wawasan diri. Namun sayangnya, pendidikan kita tidak menganjurkan bagaimana mencintai membaca dan menulis. Inilah kecelakaan terbesar bangsa Indonesia. Begitulah ucapan Suparto Broto yang dikutip dalam buku ini. Persoalan lemahnya minat baca masyarakat Indonesia memang menjadi persoalan sejak lama. Dengan kondisi minat baca yang rendah, nampaknya terlalu berat bagi bangsa Indonesia untuk berkompetisi dengan bangsa lain. Kompetisi global membutuhkan kualitas SDM yang kompatibel. Dan kualitas SDM yang seperti ini hanya akan tercipta dalam masyarakat yang memiliki tradisi membaca yang kokoh.
            Akhirnya, seberat apapun beban masalah yang menimpa dunia pendidikan kita, selalau ada harapan dan kesempatan untuk memperbaikinya. Semua itu, harus kita mulai dari diri kita sendiri sebagai pelaku pendidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar