Sabtu, 01 Februari 2014

Bidadari Subuh



                                                                        BIDADARI SUBUH
                                                                        Oleh : S. Rihanan
            Kawan, aku benar-benar tak sanggup lagi menahan geliat lidahku untuk berkisah. Ini lidah terus meliuk dan menggeliat semakin liar bak ular kepanasan, memaksa mulutku untuk terbuka dan bercerita. Kisah yang kudapat dari orang terpercaya ini, sangat rahasia kawan. Karena jika kisah ini sampai tersiar, bisa-bisa aku dan beliau diberi label sinting oleh warga kampung sini. Tapi, menyandang status sinting lebih baik buatku daripada mesti mengunci rahasia ini dalam rongga-rongga akalku. Begitu menggelisahkan kawan. Maka, janganlah kau cela jika akhirnya kisah ini ku urai juga.
            Ya, kisah ini kudapat dari kyai Husni, imam mushola kecil nan sederhana di kampung kita. Tampaknya beliau juga merasakan sensasi gelisah luar biasa kala menyimpan rahasia. Maka beliau urai juga kisah itu kepadaku. Aku adalah orang kedua yang mendengarnya. Dan telinga kalian, adalah pihak ketiga yang mendengarkannya. Jadi, kuharap kalian bisa menikmati untaian kata yang akan segera kurajut.
            Kisah ini dimulai di kala pagi masih benar-benar buta, gelap gulita. Sejuk embun membasahi rerumputan liar di sekeliling mushola kecil itu. Kemelut kabut juga masih setia menjadi selimut yang membalut pagi tersebut. Di kala itulah seperti biasa, kyai Husni berjalan pelan menyusuri jalan setapak dengan hiasan kembang kranthil di kanan-kirinya, menuju mushola di ujung gang sana.
            Langkah kaki tuanya yang tampak begitu ringan melangkah, selalu terhenti tatkala melewati sebuah pos cangkruk yang dibangun secara swadaya oleh para pemuda desa untuk dijadikan tempat nongkrong. Dia mengehela nafas panjang, dan menebah dada. Hampir tiap pagi buta, selalu dia dapati para pemuda yang tertidur lelap dengan ceceran kartu judi, papan catur, dan bahkan botol berlabel vodka di sekitar mereka. Wajah tua yang bersahaja itu selalu tampak gelisah ketika berjumpa dengan cangkruk itu. Mulutnya komat-kamit melafalkan sesuatu, mungkin Astaghfirulloh, atau mungkin Na’udzubillah!
            Dia melanjutkan langkah, menembus kabut dan hawa dingin yang menusuk. Ketika semua orang sedang menarik selimut mereka untuk kedua kalinya, sang kyai dengan mantap menuju mushola walau hanya seorang diri.
            Mushola tampak sepi, dan memang selalu sepi ketika beliau sampai di sana. Hanya kunang-kunang yang mulai berpulang, dan jangkrik-jangkrik yang masih riuh mengerik menjadi teman setia yang menyambutnya.
            Dinyalakannya lampu mushola, seketika terang menerawang memancar dari lampu 5 watt yang tergantung dengan balutan debu. kemudian dia menuju ke almari tua yang sudah reot dan rapuh dimakan usia dan rayap. Disambutnya tape recorder yang tersimpan di almari lalu dia tekan tombol  On. Tak lama, pelan-pelan mulai terdengar suara orang mengaji, mengudara melalui corong tua yang terpasang di atas atap mushola. Lantunan ayat-ayat suci meresapkan kesejukan pagi itu ke dalam hati sang kyai. Selanjutnya, Sembari menuggu jam shubuh tiba, beliau akan membasahi dirinya dengan air wudlu lalu duduk bersila menghadap kiblat. Bibirnya bergerak-gerak melafadzkan dzikir untuk meresapkan kesejukan lebih dalam ke dasar qolbunya.
            Ketika jarum jam menunjukkan tepat ke menit subuh yang ia tunggu, segera dia matikan tape lalu menggantinya dengan suara serak tuanya, untuk mengajak orang-orang sholat subuh. Lantunan adzan ia kumandangkan dengan semangat, membuat warga termasuk aku membuka mata walau hanya sekejap dan kemudian menarik selimut untuk kedua kalinya, meneruskan mimpi yang terjeda oleh suara adzan kyai Husni.
“Ei..malas benar jika pagi sebuta ini harus bangun dan berbasah-basahan dengan air wudlu yang dingin menusuk daging”. Pikirku sembari membenamkan diri semakin dalam ke dalam balutan selimut yang hangat.
            Selesai adzan, beliau menuggu beberapa saat untuk menanti jama’ah yang mau sholat subuh. Namun pagi itu sama seperti pagi-pagi sebelumnya, hanya jangkrik dan kunang-kunang yang menemaninya sholat subuh sendirian. Maka, diapun mengumandangkan iqomah.
            Beliau menunaikan sholat subuh sendirian. Namun sebelum diangkat tangannya untuk takbirotul ihrom, mendadak ada yang datang dan berdiri di shof wanita. Sosok yang memakai mukena putih bersih itu tampak cemerlang dengan cahaya samar. Kyai Husni menoleh, dan berusaha memperhatikan wajah sosok itu, namun sia-sia. Wanita itu tertutup oleh kain pembatas antara shof pria dan wanita.
            Kyai Husni segera membaca istighfar, tersadar dari rasa penasarannya yang dapat berujung maksiat. Segera dia menata niat, kali ini sebagai imam dalam sholat subuh di pagi yang berkabut itu.
            Selesai sholat, dia beranikan diri untuk menyapa sosok misterius yang terlihat samar karena berada dibalik kain pembatas itu.
            assalamu’alaikum
            wa’alaikum salam”. Jawab sosok itu dengan suara merdu diselingi desahan syahdu.
            “ukhti siapa? Tampaknya bukan warga sini”. Kyai Husni bertanya sembari menajamkan mata, mencoba menerka wajah yang tampak dibalut cahaya samar temaram itu.
            “aku bidadari, kyai”. Jawabnya singkat
            Dup! jantung kyai Husni seakan berhenti. Kaget luar biasa.
            “bb..bidadari?”. sahutnya kurang percaya.
            “iya, aku baru turun dari surga”
            “benarkah? Mengapa kau ke dunia?”. Masih dengan nada kurang percaya.
            “karena aku cemburu”
            “apa?”. Kyai Husni bingung.
            “ya, aku cemburu pada wanita dunia”
            “maksudnya?”
            “wanita-wanita dunia dapat bersanding dengan pria-pria sholeh. Sedangkan kami kesepian di surga”.  Sosok yang mengaku bidadari itu menjelaskan.
            Kyai Husni menggelengkan kepala tanda tak percaya.
            “apakah ukhti bergurau?”
            “tidak kyai”
            “apakah ukhti mengigau?”
            “hehe”. Sosok itu tersenyum kecil kemudian berkata. “aku sadar kyai, aku benar-benar kesepian di surga. Karena sekarang surga masih sepi. Aku ingin seperti wanita-wanita sholehah di dunia, yang mempunyai ketabahan dalam menjalankan ibadah dan menjaga kesucian, serta dapat bersanding dengan pria-pria sholeh”.
            “memangnya, apakah engkau ingin menikah dengan manusia?”
            “tentu tidak, aku tidak ingin terburu-buru”
            “lalu apa maumu?”
            “bisa dekat dengan pria sholeh saja, sudah membuatku senang. Maka, aku memilih momentum sholat berjama’ah agar bisa dekat dengan mereka”.
            “lalu, mengapa harus sholat subuh? Bukankah kau akan kecewa? Seperti saat ini, kau hanya akan mendapati pria tua bangka sepertiku”.
            “hmm…karena aku menikmati kesejukan yang ditawarkan subuh kala mentari masih malu memancar. Serta aku sangat menyukai aura yang memancar dari wajah manusia-manusia yang memilih basah dengan air wudlu, daripada terlelap dalam mimpi yang semu. Aku sudah terbiasa kecewa. Kerapkali aku mampir ke mushola bahkan masjid agung, hanya aku dapati satu atau dua orang sholeh. Bahkan tak jarang, aku hanya termenung sendiri di subuh yang sunyi. Tapi aku tak peduli, tiap subuh, aku akan berkeliling ke mushola-mushola di penjuru bumi untuk mencari kepuasan hati”. Penjelasannya masih diselingi desahan-desahan syahdu.
            Kyai Husni masih menggelengkan kepala.
            “maaf ukhti, aku masih belum bisa mempercayai pengakuan ukhti”.
            “aku juga tidak menuntut anda untuk percaya kyai”. Selesai berucap, tiba-tiba sosok wanita itu memancarkan cahaya yang menyilaukan, kemudian tubuhnya pecah menjadi ratusan kepingan seperti kupu-kupu bercahaya yang terbang secara bergerombol.
            Kyai Husni membelalakkan mata. Mulutnya menganga tanda tak percaya dengan apa yang dia lihat. Wanita itu berubah menjadi ratusan kupu-kupu yang bercahaya dan berputar-putar di dalam mushola.
            “aku pamit dulu kyai, kapan-kapan aku akan mampir lagi ke mushola ini. Saya harap, ada banyak pria sholeh yang sholat subuh di mushola teduh ini”. Terdengar suara menggema di antara gerombolan kupu-kupu itu. Kemudian dalam sekejap, kupu-kupu itu berhamburan keluar mushola, dan terbang tinggi ke langit.
            Kyai Husni terpaku. Mulutnya tanpa henti terus bertasbih.
            Nah..itulah kisah yang diceritakan kyai Husni kepadaku kawan. Entah cerita itu kenyataan atau rekaan, yang pasti aku penasaran. Tidakkah kalian juga penasaran, bagaimana eloknya rupa bidadari yang sering dilukiskan dalam ribuan kisah itu?
            “mata jeli, paras cantik jelita, dengan bibir merekah bak delima, rambut ikal menggeliat bak gelombang samudera, pipi mulusnya yang merona, “hmmm“ jangan kau lupakan tubuh gemulainya yang menegangkan mata, serta betis bulir padi yang dapat menggoda semua pria”. Aku begitu bersemangat membayangkan postur tubuh bidadari yang selama ini hanya ada dalam dunia khayalku.
            Wajah-wajah pemuda di depanku terlihat beraneka rupa setelah mendengar cerita dariku. Ada yang nyengir, mencibir, dan ada juga yang manggut-manggut percaya. Tapi terserahlah. Entah apa yang ada di benak kalian, yang penting aku akan ke mushola pagi ini untuk shalat subuh. Agar dapat berjumpa dengan bidadari itu.
            **
            Setelah melewati malam yang menggelisahkan, aku bergegas melesat menuju mushola ketika mendengar suara serak kyai Husni mengumandangkan adzan. Tapi aku terkejut bukan kepalang. Mushola yang biasanya lengang itu menjadi sesak pagi ini. Puluhan pemuda, yang merupakan penghuni kampung sini tumpah ruah di mushola. Penasaran, akupun bertanya.
            “eh..ada apa?”
            “mau lihat bidadari”. Jawab salah seorang dari mereka.
            “walah??”. Seingatku, tak banyak telinga yang mendengar kisahku kala itu. Tapi sejak kapan kisah itu menyebar ke telinga-telinga mereka semua?
            Di tengah kesibukan akalku dalam merajut keanehan ini, aku mulai merasa ganjil. Apakah mungkin kyai Husni berbohong, mengarang kisah tentang bidadari itu agar pemuda-pemuda yang biasanya nongkrong hingga pagi itu mau sholat subuh berjama’ah? Ah..entahlah. aku hanya termenung menuggu waktu sholat subuh tiba, sambil mengamati seekor kupu-kupu yang sedikit aneh. Warnanya putih bersih dan bersinar seperti kunang-kunang, terbang mengitari mushola yang penuh sesak oleh jama’ah yang tidak mempedulikan kehadirannya.
            “ah..mungkin itu hasil kawin silang antara kupu-kupu dan kunang-kunang”. Pikirku tak peduli.

sumber gambar: menyentuhruhani.blogpot.com

Trenggalek, 11 desember 2012






Tidak ada komentar:

Posting Komentar