Minggu, 09 Februari 2014

Makam Tak Berjasad


                                                MAKAM TAK BERJASAD
Oleh : Rihan Nan
            Minggu 2013
Nisan tua dari kayu yang mulai rapuh itu tampak begitu mistis dengan asap kemenyan yang senantiasa mengepul di sekelilingnya. Beberapa orang di luar pagar bambu yang sengaja dibuat oleh juru kunci tampak begitu khusuk melafadzkan entah mantra atau do’a, meminta berkah dari sang empunya makam. Makam eyang Panji. Ya, eyang Panji adalah sosok yang dipercaya menjadi penghuni kuburan tua dibawah pohon akasia raksasa di hutan selatan kampungku.
Tidak ada yang mengenal secara pasti siapa eyang Panji. Hanya desas-desus yang kudengar, siapa saja yang berdo’a di kuburan tua ini, maka segala do’anya akan dikabulkan.
Ceritanya bermula ketika suatu masa Pardi mengaku bermimpi didatangi oleh seseorang renta memakai pakaian serba putih, mengaku benama eyang Panji. Orang renta itu mengatakan bahwa siapapun yang mau menjaga dan berkunjung kepada jasadnya, maka dia akan membantu menyampaikan do’anya kepada Tuhan yang agung, agar segera dikabulkan. Orang renta itu juga menunjukkan di mana tempat jasadnya dikubur.
Pagi harinya, setelah mendapat mimpi tersebut, Pardi segera meluncur ke tengah hutan di sebelah selatan desanya. Dia menerobos semak belukar dan rerimbunan pohon di hutan yang jarang disambangi manusia tersebut. Ketika dia sampai di sebuah pohon akasia besar, dengan cabangnya yang membentang bak tangan raksasa, lengkap dengan serabut akarnya yang menjalar ke segala penjuru mata angin, Pardi menemukan sepasang nisan yang tertancap di bawah tumpukan daun kering.
Sejak saat itu, Pardi selalu merawat makam yang dianggapnya keramat. Selama menjadi juru kunci di kuburan eyang Panji, Pardi sering mendesuskan kabar kepada penduduk desa, bahwa dia sering mengalami kejadian aneh. Perihal eyang Panji yang sering datang pada mimpinya, perihal do’anya yang sering dikabulkan, perihal penyakitnya yang sembuh setelah berkunjung ke makam tersebut, dan perihal-perihal lain yang bersifat ghaib.
Tak khayal, berita tentang kemanjuran makam eyang Panji segera menyebar ke seantero desa, bahkan sampai ke desa-desa tetangga. Perlahan, semakin banyak warga yang menyambangi makam tersebut. Tujuannya, untuk meminta do’a, agar dilancarkan rezeki, didekatkan jodohnya, atau disembuhkan penyakitnya.
Dan sekarang, meski sudah lebih dari lima puluh tahun semenjak Pardi menemukan makam itu, para peziarah semakin ramai mendatangi. Sementara Pardi yang sudah tua renta, tak punya daya untuk menjaga makam. Dia berniat Mewariskan posisi sebagai juru kunci kepada seseorang. Dan seseorang itu adalah aku. Ya, pemuda yang hampir menjadi gelandangan. Dulu ketika masih bocah, bapakku berkisah bahwa Pardi dulunya adalah tetangga kami. Namun pasca dia menemukan kuburan eyang Panji, Pardi memilih membangun gubuk di dekat makam, dan hidup dari sumbangan yang diberikan para peziarah.
Kini, setelah bapakku meninggal, hiduplah aku sebatang kara. Aku menjadi pemuda yang kesepian, pengangguran, jodohpun menjauhiku yang hampir seperti gelandangan. Apa daya, dalam keputus-asaan, kakiku melangkah ke kuburan eyang Panji. Berharap ada kekuatan ghaib yang dapat merubah jalan hidupku. Namun berminggu-minggu, sampai berbulan-bulan, tak jua nasibku berubah. Padahal selama itu aku menetap dan tidur di dekat makam eyang Panji.
Dan hari ini, Pardi memanggilku dan menjamuku di gubuk sederhananya. Dia berujar bahwa melihat sesuatu dari diriku. Sesuatu yang menurutnya membuatku pantas untuk menggantikannya menjadi juru kunci kuburan tua ini.
“sungguhkah kau ingin mengubah nasibmu?”. Ia bertanya.
Aku sedikit bingung. “iya ki..”. namun ku jawab dengan terus terang.
“bapakmu adalah temanku. Tidak tega aku melihat hidupmu berantakan”.
“lalu, apa yang akan ki Pardi lakukan untuk membantuku?”
“maukah kau menggantikan aku menjadi juru kunci di makam eyang Panji ini?”
“maaf ki, apakah aku pantas?”
“tenang saja, pantaslah kurasa kau menggantikanku. Di sini, kau bisa hidup sejahtera. Begitu melimpah harta yang disumbangkan para peziarah”
Aku sedikit tergoda, “apa syarat yang harus kupenuhi ki?”
“hanya satu, kau harus menjaga satu rahasia”.
“apa itu ki?”. Aku penasaran, dan ki Samuji mulai berkisah di selingi suara batuknya yang semakin parah.
**
Minggu 1963
Derap kaki yang sedang berlari memecah keheningan malam di hutan tak bertuan di selatan sebuah desa yang sedang terlelap. Nafas yang tersengal itu terdengar putus asa, dengan darah yang mengucur dari pelipis kepala dan juga mulutnya. Beberapa kali pria sekarat itu terjatuh, namun berusaha bangkit dengan sekuat tenaga guna melanjutkan langkahnya. Sesekali dia menoleh ke belakang dengan tatapan ketakutan.
Beberapa ratus meter di belakangnya, lima pasang kaki juga berderap kencang dengan pentungan dan parang di tangannya. Lima pria yang sedang terbakar amarah ini berusaha menggapai dan menghabisi seorang pria di depannya.
“tangkap! Potong lehernya!”. Terdengar teriakan kegeraman dari kerumunan pria tersebut.
“komunis keparat!”
“atheis laknat!”. Hujatan demi hujatan meluncur dari sekawanan manusia buas membelah malam temaram.
Pria sekarat dengan lumuran darah di sekujur tubuhnya itu sedikit bernafas lega. Ketika Sampailah ia di sebuah desa yang sunyi, di saat pulasnya tidur para penghuni. Dengan langkah terseok-seok pria itu menuju sebuah rumah reot di makan usia. Perlahan dia mendekati pintu, dan langsung disambut oleh sang empunya rumah.
“ah..Panji, apa yang terjadi?”. Tuan rumah tampak cemas, kemudian membaringkan tubuh pria itu di atas tikar.
“di..pardi..!! ambil air hangat!”. Tuan rumah memanggil anaknya.
“i..iya pak!”. Pardi yang masih remaja muncul dengan sebaskom air hangat.
“Rahasiaku bocor”. pria bernama Panji itu akhirnya mulai berucap dengan nafas sakratul ajalnya yang tersengal.
“apa?”
“i..iya, hati-hatilah. Jangan sampai mereka tahu kita pengikut partai komunis”. Pria itu memperingatkan. Namun tak lama, nafasnya yang tersengal mendadak tenang. Ayah Pardi menggoyang-goyagkan tubuhnya, namun tak ada respon. Pria itu mati!
“di..Pardi. kau harus merahasiakan ini”. Sang Ayah meminta.
Pardi masih terlihat heran. “bb..baik pak”. Dan dia hanya bisa menurut.
Akhirnya di tengah malam yang temaram dengan pancaran bulan sabit di atas awan, ayah dan anak itu membopong jenazah Panji ke tengah hutan di selatan desa mereka. Setelah sampai di bawah sebuah pohon akasia raksasa, mereka menggali liang lahat untuk sang jenazah, lalu menguburkannya. Namun tiba-tiba…
“hei..!! bangsat!!”. Sekawanan pria yang tadi mengejar Panji memergoki mereka.
“di..sembunyi”. sang ayah mencabut parang dari sarungnya. Dan Pardi bergegas bersembunyi di balik batang akasia raksasa, sembari menyaksikan pertarungan sang ayah dengan segerombolan pria berang tersebut.
“matilah kau musuh Tuhan..!”. sekawanan pria itu terus berteriak sembari menyabetkan parangnya. Sementara ayah Pardi yang kalah jumlah hanya bisa mengayunkan parangnya ke segala arah.
Pardi gemetar tak berdaya melihat ayahnya terkapar bersimbah darah. Dalam kegelapan malam dia saksikan pembantaian ayahnya oleh sekawanan pria yang tak ia kenal. Tidak cukup sampai di situ, merekapun juga membongkar makam Panji, lalu mengambil jasadnya dan melemparkannya ke atas jasad ayahnya. Kemudian salah satu dari mereka membuka botol berisi bensin dan menyiramkan ke jasad yang sudah tak berdaya. Dan…merekapun tersenyum lega melihat kobaran api menghanguskan dua jasad musuh mereka.
Pardi memberanikan diri keluar dari persembunyiannya setelah memastikan sekawanan manusia buas itu sudah pergi jauh. Dia berusaha untuk menahan air matanya, namun sia-sia. Air matanya bercucuran sembari menyaksikan abu jasad ayahnya dan Panji tertiup angin malam yang dingin menusuk tulang.
Hidup seorang diri membuat Pardi kebingungan dan kesepian. Tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat untuk mengisi perutnya. Setiap hari ia hanya mengharapkan iba dari para tetangga agar memberinya makan. Ketika para tetangga bertanya kemana perginya sang ayah, hanya ia jawab sedang merantau ke kota.
Hingga pada akhirnya, ia punya satu cara untuk bertahan hidup. Ya, ia sebarkan kabar bahwa di tengah hutan sana, ada makam keramat, makam eyang Panji! Pardi sendiri yang memilih sebongkah kayu tua, untuk kemudian ia tancapkan ke kuburan Panji yang sudah kosong! Tak disangka, caranya ini berhasil dengan gemilang.
Tak peduli apakah do’a mereka benar-benar dikabulkan setelah menyambangi kuburan yang sudah tak bertuan ini, namun pada kenyataannya, para peziarah semakin ramai menyambangi.
**
Aku tertegun mendengar cerita dari Pardi sang juru kunci. Hampir aku tidak percaya. Tapi..ini cerita dari sang juru kunci. Aku hanya terdiam menatap para peziarah yang sedang khusuk berkomat-kamit di sekeliling makam eyang Panji. Makam yang sudah tak berjasad!




2 komentar:

  1. Mikimoto-Mens Titanium Wedding Rings for Men
    Mens titanium wedding black oxide vs titanium drill bits rings for men titanium hair dye and camillus titanium women. micro touch titanium trim The Mens ring was inspired burnt titanium by Japanese Wedding rings for men and women.

    BalasHapus