Jumat, 14 Maret 2014

NASKAH LAIN



Naskah-naskah “lain”
            Meningkatnya kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi informasi, tampaknya berbanding lurus dengan minat baca bangsa kita. Ya, saat ini bangsa kita terutama generasi muda sudah bisa dikatakan “kecanduan” membaca. Namun jangan senang dulu, karena yang dibaca bukanlah aliran abjad penambah ilmu pengetahuan dan inspirasi yang bersumber dari buku-buku, artikel, ataupun makalah. Tetapi, yang menjadi candu bagi pembaca muda kita adalah abjad yang tersusun dalam pesan singkat ( SMS ), status di facebook, atau sekedar untuk membaca “kicauan” status di twitter. Kalaupun mau membuka majalah atau Koran, biasanya halaman yang dituju adalah bagian ramalan bintang atau lowongan pekerjaan.
            Lebih dari itu, mari kita simak penggalan kalimat cerpenis kenamaan negeri ini, Seno Gumiro Ajidama yang dikutip oleh Nurani Soyomukti dalam bukunya “dari demonstrasi hingga seks bebas”. Beliau mengatakan. “……masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca hanya untuk mengetahui harga-harga, membaca hanya untuk mencari lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen diskon obral besar di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan…..” pernyataan ini bisa menunjukkan keprihatinan Beliau tentang rendahnya minat baca masyrakat Indonesia.
            Fenomena ini terjadi karena budaya menonton masih jauh lebih kuat daripada budaya membaca. Ketika budaya membaca belum mengakar dengan kuat, bangsa kita sudah dibanjiri teknologi informasi yang jauh lebih memikat daripada menelusuri abjad-abjad yang tersusun dalam buku. Selain itu, juga karena dukungan dari operator penyedia layanan komunikasi dengan promo-promonya yang “menggiurkan” seperti gratis SMS sepuasnya, gratis chatting di fb dan twitt “segilanya”. Yang membuat para atlit “senam jari” ini semakin menjauh dari buku-buku sumber inspirasi dan pengetahuan. 
            Memang, tebalnya buku tampaknya masih menjadi daya tolak tersendiri bagi bangsa kita, buktinya mayoritas masyarakat terutama kaum muda lebih suka membaca SMS ataupun status di facebook daripada membuka halaman-halaman buku yang manfaatnya jauh lebih besar bila dibaca. Hal ini sungguh memprihatinkan, karena kemampuan baca masyarakat yang diasah dari mulai taman kanak-kanak hingga universitas hanya digunakan untuk membaca naskah-naskah “lain” yang manfaatnya masih diperdebatkan itu.
            Data dari Depdiknas tahun 2009 yang mengatakan bahwa 91% lebih penduduk di Indonesia yang berusia diatas 15 tahun sudah melek huruf , bisa dikatakan belum menjadi kabar gembira. Karena yang menjadi persoalan adalah, kemampuan membaca huruf tersebut belum digunakan untuk menggali tambang ilmu yang ada dalam buku. Kemampuan baca ini akan mubadzir alias terbuang sia-sia apabila yang dibaca hanyalah tulisan-tulisan “kosong” yang tanpa makna, tanpa inspirasi dan pengetahuan.
            Apabila kemampuan membaca kita tidak dimanfaatkan untuk  membaca buku-buku yang berguna, maka hampir bisa dipastikan laju kemajuan bangsa kita akan “mogok” di tengah jalan. Karena kreatifitas kita akan tumpul apabila tidak diasah dengan membaca buku. Naskah-naskah lain ( naskah yang kosong akan makna ) hanya akan menenggelamkan kita dalam lautan kemalasan dan gaya hidup “yang penting happy”. Padahal, kemajuan bangsa juga ditentukan oleh semangat dan ke-kreatifitas-an dari masyarakatnya.
            Dari sini, maka yang perlu dilakukan adalah mengalihkan minat baca masyarakat kita dari naskah lain ke naskah buku yang berguna. Cara yang bisa dilakukan misalnya. Dengan mempopulerkan membaca. Maksudnya, saat ini di Negara kita membaca buku masih dianggap sebagai kegiatan orang-orang “pintar” saja. Bahkan orang yang gemar membaca buku sering dianggap aneh dan dijuluki “kutu buku”. Ini berarti membaca buku masih terkesan “ekskusif” atau khusus bagi orang yang dianggap pintar saja. Maka dari itu, popular disini maksudnya membuat kegiatan baca buku sebagai kegiatan yang sudah “lumrah” tidak terbatas pada kalangan akademisi saja. Tetapi seluruh lapisan masyarakat dari mulai pak tani sampai abang tukang becakpun wajar jika gemar membuka buku. Kalau saat ini yang popular masih sebatas jejaring sosial, dari mulai anak-anak sampai ibu-ibu rumah tangga sudah wajar jika mempunyai account fb atau yang lainnya.
            Yang selanjutnya adalah dengan menyadarkan masyarakat akan pentingnya membaca. Untuk manfaat membaca, bisa dipastikan hampir semua orang sudah mengetahuinya, tetapi tidak menyadarinya. Maksudnya, terkadang seseorang sudah mengetahui bahwa membaca dapat menambah ilmu. Tetapi biasanya tidak menyadari bahwa ilmu tersebut dapat memperbaiki bahkan mengubah hidupnya menjadi lebih bak. Sehingga minat baca tidak tumbuh karena ketidak sadaran ini. Cara untuk menyadarkan bisa dilakukan melalui promosi dan sosialisasi. Saat ini, yang melakukan promosi hanya para penjual dan penerbit buku. Sedangkan pemerintah melalui perpustakaan hanya menunggu pembaca mendatangi gedung pepustakaan. Maka sudah saatnya pemerintah “menjemput bola”.
            Dan cara yang terakhir adalah menentukan target. Maksudnya, kita harus tahu siapa dan bagaimana kondisi pembaca. Karena masing-masing buku juga mempunyai target pembaca tersendiri. Buku tentang pertanian, cocok dibaca oleh petani. Buku tentang perikanan dan kelautan, cocok dibaca oleh nelayan, dan lain sebagainya. Maka dari itu, pemerintah melalui perpustakaan daerah harus mulai terjun ke lapangan, misalnya memberikan buku buku-buku tentang pertanian kepada kelompok tani. Memberikan buku tentang perikanan kepada kelompok nelayan. Memberikan buku-buku seputar social kepada organisasi-organisasi kemasyarakatan. Memberikan buku tentang science dan akhlak kepada para pelajar, dan seterusnya.
            Dengan begitu, maka diharapkan dapat mengalihkan minat baca masyarakat dari naskah-naskah lain yang “kosong” kepada naskah buku yang berisi ilmu dan inspirasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar