Naskah-naskah
“lain”
Meningkatnya kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi
informasi, tampaknya berbanding lurus dengan minat baca bangsa kita. Ya, saat
ini bangsa kita terutama generasi muda sudah bisa dikatakan “kecanduan”
membaca. Namun jangan senang dulu, karena yang dibaca bukanlah aliran abjad
penambah ilmu pengetahuan dan inspirasi yang bersumber dari buku-buku, artikel,
ataupun makalah. Tetapi, yang menjadi candu bagi pembaca muda kita adalah abjad
yang tersusun dalam pesan singkat ( SMS ), status di facebook, atau sekedar
untuk membaca “kicauan” status di twitter. Kalaupun mau membuka majalah atau
Koran, biasanya halaman yang dituju adalah bagian ramalan bintang atau lowongan
pekerjaan.
Lebih dari itu, mari kita simak penggalan kalimat
cerpenis kenamaan negeri ini, Seno Gumiro Ajidama yang dikutip oleh Nurani
Soyomukti dalam bukunya “dari demonstrasi
hingga seks bebas”. Beliau mengatakan. “……masyarakat
kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca hanya
untuk mengetahui harga-harga, membaca hanya untuk mencari lowongan pekerjaan,
membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu
berapa persen diskon obral besar di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca
sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan…..”
pernyataan ini bisa menunjukkan keprihatinan Beliau tentang rendahnya minat
baca masyrakat Indonesia.
Fenomena ini
terjadi karena budaya menonton masih jauh lebih kuat daripada budaya membaca.
Ketika budaya membaca belum mengakar dengan kuat, bangsa kita sudah dibanjiri
teknologi informasi yang jauh lebih memikat daripada menelusuri abjad-abjad
yang tersusun dalam buku. Selain itu, juga karena dukungan dari operator
penyedia layanan komunikasi dengan promo-promonya yang “menggiurkan” seperti
gratis SMS sepuasnya, gratis chatting di fb dan twitt “segilanya”. Yang membuat
para atlit “senam jari” ini semakin menjauh dari buku-buku sumber inspirasi dan
pengetahuan.
Memang, tebalnya buku tampaknya masih menjadi daya tolak tersendiri
bagi bangsa kita, buktinya mayoritas masyarakat terutama kaum muda lebih suka membaca
SMS ataupun status di facebook daripada membuka halaman-halaman buku yang
manfaatnya jauh lebih besar bila dibaca. Hal ini sungguh memprihatinkan, karena
kemampuan baca masyarakat yang diasah dari mulai taman kanak-kanak hingga
universitas hanya digunakan untuk membaca naskah-naskah “lain” yang manfaatnya
masih diperdebatkan itu.
Data dari Depdiknas tahun 2009 yang mengatakan bahwa 91%
lebih penduduk di Indonesia yang berusia diatas 15 tahun sudah melek huruf ,
bisa dikatakan belum menjadi kabar gembira. Karena yang menjadi persoalan
adalah, kemampuan membaca huruf tersebut belum digunakan untuk menggali tambang
ilmu yang ada dalam buku. Kemampuan baca ini akan mubadzir alias terbuang sia-sia apabila yang dibaca hanyalah
tulisan-tulisan “kosong” yang tanpa makna, tanpa inspirasi dan pengetahuan.
Apabila kemampuan membaca kita tidak dimanfaatkan untuk membaca buku-buku yang berguna, maka hampir
bisa dipastikan laju kemajuan bangsa kita akan “mogok” di tengah jalan. Karena
kreatifitas kita akan tumpul apabila tidak diasah dengan membaca buku.
Naskah-naskah lain ( naskah yang kosong akan makna ) hanya akan menenggelamkan
kita dalam lautan kemalasan dan gaya hidup “yang penting happy”. Padahal,
kemajuan bangsa juga ditentukan oleh semangat dan ke-kreatifitas-an dari
masyarakatnya.
Dari sini, maka yang perlu dilakukan adalah mengalihkan
minat baca masyarakat kita dari naskah lain ke naskah buku yang berguna. Cara
yang bisa dilakukan misalnya. Dengan mempopulerkan membaca. Maksudnya, saat ini
di Negara kita membaca buku masih dianggap sebagai kegiatan orang-orang
“pintar” saja. Bahkan orang yang gemar membaca buku sering dianggap aneh dan
dijuluki “kutu buku”. Ini berarti membaca buku masih terkesan “ekskusif” atau
khusus bagi orang yang dianggap pintar saja. Maka dari itu, popular disini
maksudnya membuat kegiatan baca buku sebagai kegiatan yang sudah “lumrah” tidak
terbatas pada kalangan akademisi saja. Tetapi seluruh lapisan masyarakat dari
mulai pak tani sampai abang tukang becakpun wajar jika gemar membuka buku.
Kalau saat ini yang popular masih sebatas jejaring sosial, dari mulai anak-anak
sampai ibu-ibu rumah tangga sudah wajar jika mempunyai account fb atau yang
lainnya.
Yang selanjutnya adalah dengan menyadarkan masyarakat
akan pentingnya membaca. Untuk manfaat membaca, bisa dipastikan hampir semua
orang sudah mengetahuinya, tetapi tidak menyadarinya. Maksudnya, terkadang
seseorang sudah mengetahui bahwa membaca dapat menambah ilmu. Tetapi biasanya
tidak menyadari bahwa ilmu tersebut dapat memperbaiki bahkan mengubah hidupnya
menjadi lebih bak. Sehingga minat baca tidak tumbuh karena ketidak sadaran ini.
Cara untuk menyadarkan bisa dilakukan melalui promosi dan sosialisasi. Saat
ini, yang melakukan promosi hanya para penjual dan penerbit buku. Sedangkan
pemerintah melalui perpustakaan hanya menunggu pembaca mendatangi gedung
pepustakaan. Maka sudah saatnya pemerintah “menjemput bola”.
Dan cara yang terakhir adalah menentukan target.
Maksudnya, kita harus tahu siapa dan bagaimana kondisi pembaca. Karena
masing-masing buku juga mempunyai target pembaca tersendiri. Buku tentang
pertanian, cocok dibaca oleh petani. Buku tentang perikanan dan kelautan, cocok
dibaca oleh nelayan, dan lain sebagainya. Maka dari itu, pemerintah melalui
perpustakaan daerah harus mulai terjun ke lapangan, misalnya memberikan buku
buku-buku tentang pertanian kepada kelompok tani. Memberikan buku tentang
perikanan kepada kelompok nelayan. Memberikan buku-buku seputar social kepada
organisasi-organisasi kemasyarakatan. Memberikan buku tentang science dan
akhlak kepada para pelajar, dan seterusnya.
Dengan begitu, maka diharapkan dapat mengalihkan minat
baca masyarakat dari naskah-naskah lain yang “kosong” kepada naskah buku yang
berisi ilmu dan inspirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar