Senin, 31 Maret 2014

MENGURAI TITIK SETERU BENDERA DAN AGAMA



 Oleh Samsul Rihanan


            Pernah terekam dalam ingatan beberapa waktu yang lalu, terkait sekolah yang melarang muridnya untuk hormat kepada bendera merah putih. Sekolah yang berada di daerah jawa tengah itu beralasan bahwa hormat kepada bendera adalah perbuatan bid’ah dan mendekati syirik, serta menyimpang dari ajaran agama (Islam).
            Di sisi lain, pemerintah setempat mengultimatum sekolah tersebut, bila tetap tidak menghormati negara, maka sekolah tersebut akan di tutup dan izinnya akan di cabut. Karena di anggap menyimpang dari undang-undang.
            Kejadian ini menjadi bukti bahwa bendera (baca: Negara) belum sepenuhnya menemukan titik temu dengan agama. Justru titik seteru yang sering kali dijumpai.
            Agama memang mengharuskan umatnya untuk tunduk kepada Tuhan dengan segala peraturannya agar selamat dunia akhirat. Di lain sisi, negara juga menuntut adanya rasa patriotisme dan nasionalisme dari warganya guna menjaga keberlangsungan nafas negara dan bangsa.
            Posisi manusia sebagai umat beragama sekaligus warga negara inilah yang justru menjadi titik perseteruan. Karena selain harus menjalankan kewajibannya sebagai hamba Tuhan, juga dituntut untuk menjalankan kewajibannya sebagai warga negara. Di mana dalam kondisi tertentu memang sering terjadi gesekan antara agama dan negara, contohnya dalam masalah syariat agama, hukum Negara, dan kebudayaan bangsa. Negara menyerukan bahwa tanah air ini harus dijaga dengan jiwa nasionalisme dan patuh terhadap hukum undang-undang. Di sudut lain, kaum yang beragama secara “puritan” berseru bahwa tanah air ini adalah milik Tuhan, maka harus di jaga dengan hukum Tuhan. Dua seruan ini bisa menjadi buah simalakama bagi umat beragama. Bila tidak waspada, bisa menjatuhkan umat ke dalam lembah pemberontakan dan terorisme dengan dalil menjalankan perintah Tuhan. Yang faktanya hanya akan menjadi bencana bagi bangsa dan agama itu sendiri. Titik seteru ini perlu segera diurai guna merajut titik temu agar negara dan agama bisa berjalan harmonis.
            Langkah pertama bisa di mulai melalui peran organisasi islam seperti NU dan Muhammadiyah (karena yang sering menjadi isu adalah umat muslim). Organisasi keagamaan yang sudah dinilai pro-negara ini harus mendakwahkan (mensosialisasikan) bahwa mematuhi hukum dan menghormati Negara , bukanlah hal yang menyimpang dari agama. Menghormati negara yang disimbolkan dengan hormat kepada bendera tidak bisa di katakan syirik, karena hormat itu berbeda dengan menyembah atau memuja. Contohnya bila kita menghormati kyai, bukan berarti kita menyembahnya tetapi hormat ini berarti menunjukan penghargaan dan takdzim kita kepada beliau karena jasa atau ilmunya.
            Begitu juga dengan Negara. Negara telah memberi kita keamanan lewat aparatnya, memberi pelayanan lewat sarana dan prasarana umumnya, memberi bantuan lewat subsidinya dan lain sebagainya. Maka dengan ini, pantaslah bagi kita untuk menghormati bendera sebagai simbol Negara, dengan tetap menyembah kepada Alloh semata. Apabila ada segelintir orang yang telah menikmati kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh negara tetapi  tidak mau menghormati Negara, maka pantas jika mereka dikatakan sebagai pemberontak dan mendapatkan sanksi.
             Dalam agama Islam, pemberontakan diperbolehkan hanya jika penguasa (Negara) melarang umat untuk beribadah. Sedangkan di Indonesia umat muslim di berikan kebebasan untuk menjalankan ibadah sebebas-bebasnya, maka pemberontakan sama sekali tidak dibenarkan.
            Penghargaan, hormat, dan salam memang harus kita tunjukan kepada mahkluk hidup yang berakal. Sedangkan bendera adalah benda mati. Namun perlu diketahui bahwa bendera adalah symbol bagi bangsa ini. Jadi bila kita hormat kepada bendera berarti kita menghormati seluruh manusia yang ada di Negara yang benderanya kita hormati. Sama seperti ketika kita sholat menghadap ka’bah, bukan berarti kita mnyembah ka’bah tetapi tetap hanya Allah sematalah yang kita sembah.
            Negara, kita akui atau tidak telah banyak membantu kesejahteraan kita. Bila kita mendapat ancaman maka kita akan mengadu kepada polisi yang merupakan aparat Negara. Pendidikan anak-anak kita sedikit banyak telah dibantu negara lewat program-programnya seperti dana BOS. Kesehatan kita juga di perhatikan negara lewat Jamkesmas dan obat gratis bagi rakyat miskin.
            Meski negara kita nampak masih semrawut, kesejahteraan kurang merata, dan banyak dihuni mahkluk dzalim seperti para koruptor, namun pasti kita semua sedikit atau banyak pernah merasakan bantuan yang di berikan negara. Maka sudah wajar jika kita menghormati negara.
            Ilustrasi sederhanya begini. Ketika kita membutuhkan uang tentu kita akan meminta dan berdoa kepada Allah SWT. Dan tiba-tiba tetangga kita memberi uang kepada kita. jadi sebenarnya rezeki itu memang dari Alloh, dan tetangga kita itu adalah “perantara”  pilihan Alloh. Maka yang harus kita lakukan adalah bersyukur dan sujud kepada Alloh dan juga  berterima kasih serta menghormati tetangga yang membantu kita tadi.
            Begitu juga dengan Negara. Semua rezeki, kemudahan, serta tanah air di dunia ini memang adalah pemberian Alloh, sedangkan negara yang menjadi perantaranya. Jadi sangat tepat jika kita bersyukur dan memuja hanya kepada Alloh serta hormat kepada Negara.
            Suatu hari Rosululloh Muhammad SAW. Pernah meminjam seekor kambing yang kurus kepada seorang sahabat, kemudian Rosul mengembalikannya dengan kambing yang lebih gemuk , kemudian Rosul bersabda “muslim yang baik adalah yang tahu berterimakasih”.
            Maka dari itu, sekali lagi kita perlu hormat kepada bendera merah putih sebagai symbol penghormatan kepada bangsa dan Negara Indonesia. Bukan karena untuk menyembah dan memuja bendera, tetapi untuk menunjukan bahwa kita adalah umat yang tahu caranya “berterimakasih”
           
“Wallahu’alam Bisshowab”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar