Senin, 31 Maret 2014

MENGURAI TITIK SETERU BENDERA DAN AGAMA



 Oleh Samsul Rihanan


            Pernah terekam dalam ingatan beberapa waktu yang lalu, terkait sekolah yang melarang muridnya untuk hormat kepada bendera merah putih. Sekolah yang berada di daerah jawa tengah itu beralasan bahwa hormat kepada bendera adalah perbuatan bid’ah dan mendekati syirik, serta menyimpang dari ajaran agama (Islam).
            Di sisi lain, pemerintah setempat mengultimatum sekolah tersebut, bila tetap tidak menghormati negara, maka sekolah tersebut akan di tutup dan izinnya akan di cabut. Karena di anggap menyimpang dari undang-undang.
            Kejadian ini menjadi bukti bahwa bendera (baca: Negara) belum sepenuhnya menemukan titik temu dengan agama. Justru titik seteru yang sering kali dijumpai.
            Agama memang mengharuskan umatnya untuk tunduk kepada Tuhan dengan segala peraturannya agar selamat dunia akhirat. Di lain sisi, negara juga menuntut adanya rasa patriotisme dan nasionalisme dari warganya guna menjaga keberlangsungan nafas negara dan bangsa.
            Posisi manusia sebagai umat beragama sekaligus warga negara inilah yang justru menjadi titik perseteruan. Karena selain harus menjalankan kewajibannya sebagai hamba Tuhan, juga dituntut untuk menjalankan kewajibannya sebagai warga negara. Di mana dalam kondisi tertentu memang sering terjadi gesekan antara agama dan negara, contohnya dalam masalah syariat agama, hukum Negara, dan kebudayaan bangsa. Negara menyerukan bahwa tanah air ini harus dijaga dengan jiwa nasionalisme dan patuh terhadap hukum undang-undang. Di sudut lain, kaum yang beragama secara “puritan” berseru bahwa tanah air ini adalah milik Tuhan, maka harus di jaga dengan hukum Tuhan. Dua seruan ini bisa menjadi buah simalakama bagi umat beragama. Bila tidak waspada, bisa menjatuhkan umat ke dalam lembah pemberontakan dan terorisme dengan dalil menjalankan perintah Tuhan. Yang faktanya hanya akan menjadi bencana bagi bangsa dan agama itu sendiri. Titik seteru ini perlu segera diurai guna merajut titik temu agar negara dan agama bisa berjalan harmonis.
            Langkah pertama bisa di mulai melalui peran organisasi islam seperti NU dan Muhammadiyah (karena yang sering menjadi isu adalah umat muslim). Organisasi keagamaan yang sudah dinilai pro-negara ini harus mendakwahkan (mensosialisasikan) bahwa mematuhi hukum dan menghormati Negara , bukanlah hal yang menyimpang dari agama. Menghormati negara yang disimbolkan dengan hormat kepada bendera tidak bisa di katakan syirik, karena hormat itu berbeda dengan menyembah atau memuja. Contohnya bila kita menghormati kyai, bukan berarti kita menyembahnya tetapi hormat ini berarti menunjukan penghargaan dan takdzim kita kepada beliau karena jasa atau ilmunya.
            Begitu juga dengan Negara. Negara telah memberi kita keamanan lewat aparatnya, memberi pelayanan lewat sarana dan prasarana umumnya, memberi bantuan lewat subsidinya dan lain sebagainya. Maka dengan ini, pantaslah bagi kita untuk menghormati bendera sebagai simbol Negara, dengan tetap menyembah kepada Alloh semata. Apabila ada segelintir orang yang telah menikmati kemudahan dan fasilitas yang diberikan oleh negara tetapi  tidak mau menghormati Negara, maka pantas jika mereka dikatakan sebagai pemberontak dan mendapatkan sanksi.
             Dalam agama Islam, pemberontakan diperbolehkan hanya jika penguasa (Negara) melarang umat untuk beribadah. Sedangkan di Indonesia umat muslim di berikan kebebasan untuk menjalankan ibadah sebebas-bebasnya, maka pemberontakan sama sekali tidak dibenarkan.
            Penghargaan, hormat, dan salam memang harus kita tunjukan kepada mahkluk hidup yang berakal. Sedangkan bendera adalah benda mati. Namun perlu diketahui bahwa bendera adalah symbol bagi bangsa ini. Jadi bila kita hormat kepada bendera berarti kita menghormati seluruh manusia yang ada di Negara yang benderanya kita hormati. Sama seperti ketika kita sholat menghadap ka’bah, bukan berarti kita mnyembah ka’bah tetapi tetap hanya Allah sematalah yang kita sembah.
            Negara, kita akui atau tidak telah banyak membantu kesejahteraan kita. Bila kita mendapat ancaman maka kita akan mengadu kepada polisi yang merupakan aparat Negara. Pendidikan anak-anak kita sedikit banyak telah dibantu negara lewat program-programnya seperti dana BOS. Kesehatan kita juga di perhatikan negara lewat Jamkesmas dan obat gratis bagi rakyat miskin.
            Meski negara kita nampak masih semrawut, kesejahteraan kurang merata, dan banyak dihuni mahkluk dzalim seperti para koruptor, namun pasti kita semua sedikit atau banyak pernah merasakan bantuan yang di berikan negara. Maka sudah wajar jika kita menghormati negara.
            Ilustrasi sederhanya begini. Ketika kita membutuhkan uang tentu kita akan meminta dan berdoa kepada Allah SWT. Dan tiba-tiba tetangga kita memberi uang kepada kita. jadi sebenarnya rezeki itu memang dari Alloh, dan tetangga kita itu adalah “perantara”  pilihan Alloh. Maka yang harus kita lakukan adalah bersyukur dan sujud kepada Alloh dan juga  berterima kasih serta menghormati tetangga yang membantu kita tadi.
            Begitu juga dengan Negara. Semua rezeki, kemudahan, serta tanah air di dunia ini memang adalah pemberian Alloh, sedangkan negara yang menjadi perantaranya. Jadi sangat tepat jika kita bersyukur dan memuja hanya kepada Alloh serta hormat kepada Negara.
            Suatu hari Rosululloh Muhammad SAW. Pernah meminjam seekor kambing yang kurus kepada seorang sahabat, kemudian Rosul mengembalikannya dengan kambing yang lebih gemuk , kemudian Rosul bersabda “muslim yang baik adalah yang tahu berterimakasih”.
            Maka dari itu, sekali lagi kita perlu hormat kepada bendera merah putih sebagai symbol penghormatan kepada bangsa dan Negara Indonesia. Bukan karena untuk menyembah dan memuja bendera, tetapi untuk menunjukan bahwa kita adalah umat yang tahu caranya “berterimakasih”
           
“Wallahu’alam Bisshowab”

Jumat, 28 Maret 2014

MENCERDASKAN GENERASI MUDA DENGAN POLITIK




Oleh : Samsul Rihanan
            Mari kita memulainya dengan melihat fakta, bahwa dewasa ini dunia politik cenderung membodohkan masyarakat, terutama para remaja selaku generasi muda. Pembodohan itu terjadi karena banyaknya dosa-dosa politik yang dilakukan oleh para politisi. Baik dosa dalam bentuk korupsi, kolusi, dan juga nepotisme. Mengapa hal ini disebut pembodohan? Alasan yang pertama, karena hal tersebut dapat menciptakan sebuah opini di kalangan generasi muda bahwa dunia politik adalah dunia yang penuh dengan limpahan dosa. Sehingga, mayoritas dari mereka memilih untuk menjauh dan tidak mau tahu urusan poilitk. Padahal, segala kebijakan dan aturan yang secara langsung diterapkan dalam kehidupan mereka sebagai warga Negara dirancang dalam dunia politik. Alasan yang kedua, karena hal tersebut dapat menimbulkan rasa benci di hati generasi muda terhadap para pemangku kebijakan, baik di kalangan eksekutif ataupun legislatif. Tentu ini dapat menjadi masalah. Karena ketika hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin tidak terjalin suatu hubungan yang harmonis, tentunya segala kebijakan yang akan diterapkan tidak akan berjalan secara maksimal.
            Dan apabila generasi muda sudah bersikap tidak peduli (apatis) serta benci terhadap dunia politik, maka akan berujung pada penyakit “buta politik”. Yang pada akhirnya, akan membentuk dua kelompok generasi muda penerus bangsa. Kelompok pertama, adalah generasi muda yang diam dalam menanggapi segala kebijakan yang terkadang, kebijakan tersebut tidak berpihak pada mereka (masyarakat). Dengan kata lain, mereka akan kehilangan nalar kritis sebagai generasi muda sehingga dengan mudah dikelabui oleh para politisi dan pejabat nakal. Kelompok kedua, adalah kelompok radikal yang cenderung anarkis dalam menanggapi setiap kebijakan pemerintah. Memang, ketika semangat yang menggebu tidak dibarengi dengan pengetahuan yang mendalam, dapat menimbulkan tindakan kekerasan.
            Sebenarnya apabila kita melihat lebih cermat, masih ada satu lagi alasan dan kelompok yang terkait dengan politik yang membodohkan ini. Yaitu, hal tersebut dapat menarik perhatian dari calon “koruptor baru”. Ketika dipaparkan bahwa alam politik adalah alam yang penuh dengan proyek dan rupiah yang melimpah, sementara di sisi lain hukum tumpul yang tidak dapat menjangkau para koruptor “kelas kakap”, maka akan muncul kelompok generasi muda yang tertarik dengan dunia politik sekedar berhasrat untuk meraup keuntungan materi. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya politisi yang dulunya adalah aktifis, akhirnya tersandung dengan kasus korupsi.
            Alasan-alasan dan kelompok-kelompok di atas, adalah penjelasan mengapa dunia politik saat ini dikatakan cenderung membodohkan masyarakat terutama remaja dan generasi muda. Politisi nakal yang tidak memberikan teladan kebaikan, dan media yang menyiarkan berita secara kebablasan, membuat generasi muda “buta politik” atau tidak lagi mengetahui makna sejati dari politik. Sehingga mereka seringkali bersikap “kurang cerdas” dalam menyikapi berbagai masalah politik dan kebijakan pemerintahan.
            Maka dari itu, kita perlu segera menghapus politik yang membodohkan ini, menjadi politik yang mencerdaskan generasi muda. Karena generasi muda adalah agen perubahan yang diharapkan mampu mengubah Indonesia ke arah yang lebih baik, serta menjadi pengawal kebijakan pemerintah, agar setiap kebijakan yang diambil benar-benar berpihak kepada rakyat.
            Selanjutnya, bagaimanakah konsep politik yang mencerdaskan ini? Sebenarnya cukup sederhana, yaitu harus ada sinergitas antara politisi, media, dan aparat penegak hukum. Para politisi tidak hanya mencari dukungan, namun juga memberikan teladan kebaikan dalam dunia politik. Sementara media juga tidak hanya memberitakan perihal dosa-dosa politik yang cenderung memprovokasi masyarakat, namun juga mengabarkan perihal kemajuan dan kebaikan dunia politik dalam negeri. Di sisi lain, aparat penegak hukum benar-benar tegas dalam memberikan sanksi kepada politisi nakal.
            Mungkin konsep itu masih terkesan abstrak dan utopis. Namun kita bisa membuat sebuah rancangan konkrit, agar konsep politik yang mencerdaskan ini bisa benar-benar terwujud.
            Yang pertama, dengan menghentikan politik uang (money politics). Sebagaimana kita ketahui, saat ini kegiatan membagi-bagikan uang selama berkampanye nampak jelas terlihat dalam dunia politik. Hanya saja, “kemasan” yang dipakai oleh para politisi sanggup mengelabui panitia pengawas pemilu (panwaslu). Misalnya politik uang dalam bentuk sumbangan, membagikan sembako, membagikan kaos, dan lain sebagainya. Hal ini tentu dapat membuat masyarakat terutama generasi muda bersikap pragmatis, dengan memilih calon yang memberikan “suap”, dan mengesampingkan visi dan misi dari para calon. Maka dari itu, perlu adanya ketegasan. Bahwa, selama berkampanye para calon hanya boleh mengandalkan visi dan misi. Dengan begitu generasi muda akan terlatih untuk cermat dan cerdas dalam menentukan pilihan.
            Yang kedua, belajar politik sejak dini untuk berbakti: Saat ini kita melihat partai politik banyak merekrut kader-kader instan yang kurang berkualitas. Pengkaderan hanya mengandalkan kekayaan dan ketenaran untuk menarik perhatian masyarakat. Misalnya, dengan mengkader para artis. Hal ini membuktikan bahwa dunia politik kita mengalami kegagalan dalam mempersiapkan kader yang cerdas dan berkualitas. Maka dari itu, harus ada pendidikan politik bagi generasi muda (pelajar menengah dan mahasiswa). Pendidikan tentang apa itu makna sejati dari politik, serta cara membaca kondisi politik terkini. Dengan begitu, akan tercetak generasi muda yang kritis dan cerdas dalam mengawal dunia perpolitikan, serta di sisi lain akan tercetak kader-kader baru yang benar-benar berkualitas.
            Yang ketiga, dengan memberikan ketegasan hukum bagi pelaku dosa politik, serta pendidikan hukum bagi generasi muda : pemberian ganjaran terhadap pelaku dosa politik di negeri kita selalu berjalan tidak seimbang. Mulai dari perlakuan yang istimewa, pengurangan masa hukuman, bahkan sampai vonis bebas. Sementara media, juga terkesan mencari berita hangat sesaat. Meskipun sebuah kasus belum tuntas, namun segera ditinggalan jika dirasa sudah “tidak hangat” lagi. Dan para generasi muda, hanya bisa menonton dari rumah, atau paling banter melakukan unjuk rasa dengan berteriak di luar gedung. Hingga pada akhirnya, dosa politik tidak diganjar setimpal, dan masyarakat terutama generasi muda tetap diombang-ambingkan oleh tumpukan kasus-kasus baru. Maka dari itu, aparat penegak hukum wajib ikut andil dalam mencerdaskan generasi muda dan masyarakat, dengan menegakkan hukum setegak-tegaknya. Dan tidak lupa, memberikan pendidikan atau paling tidak sosialisasi tentang hukum yang berlaku di Indonesia. Agar generasi muda terlatih untuk mengawal setiap vonis hukum yang dilimpahkan kepada khususnya pelaku dosa politik.
            Apabila ketiga hal ini dapat dilakukan, maka politik dalam negeri akan mencerdaskan generasi muda. Cerdas dalam artian dapat menjadi masyarakat yang bijak dan “melek politik” sehingga tidak mudah dikelabui oleh politisi nakal. Dapat menjadi pengawal yang senantiasa mengawal setiap kebijakan dan arus politik yang mengalir dengan cara yang lebih cerdas, tidak harus dengan demonstrasi. Serta dapat menjadi kader-kader politik masa depan yang berkualitas jasmani dan rohaninya. Dengan begitu, maka generasi muda bangsa dapat benar-benar menjadi agen perubahan bagi bangsa dan Negara.
            Jadi, kesimpulannya adalah. Generasi muda wajib “melek politik”. Generasi muda harus cerdas dalam menyikapi berbagi permasalahan yang melingkupi dunia politik. Maka, generasi muda harus menuntut transisi dari politik yang membodohkan menjadi politik yang mencerdaskan. Bagaimanakah konsep tuntutan itu? yaitu harus ada sinergitas dari semua elemen. Apabila hanya mengandalkan aparat penegak hukum, tentu terlalu naif. Maka, antara aparat penegak hukum, media, dan politisi harus membentuk sebuah “lingkaran malaikat” yang selalu menjaga dan mengawasi satu sama lain.
            Yang terakhir, tentu harus ada nasehat pada diri sendiri sebagai cara untuk menginstropeksi diri. Memang kita, selaku generasi muda jengah melihat dunia politik yang penuh dengan intrik dan manipulasi tidak sehat terutama yang berkaitan dengan dana dan jabatan. Kita juga sudah bosan dengan begitu banyaknya dosa-dosa yang mengiringi perjalanan politik kita. Memang, itu semua merupakan kesalahan. Namun bukankah kesalahan itu harus diperbaiki, bukan justru dijauhi? Maka dari itu, mari kita selaku generasi muda senantiasa belajar dan belajar agar kita dapat menjadi generasi muda yang kritis dan juga cerdas. (*)

Jumat, 14 Maret 2014

NASKAH LAIN



Naskah-naskah “lain”
            Meningkatnya kemajuan zaman dan kecanggihan teknologi informasi, tampaknya berbanding lurus dengan minat baca bangsa kita. Ya, saat ini bangsa kita terutama generasi muda sudah bisa dikatakan “kecanduan” membaca. Namun jangan senang dulu, karena yang dibaca bukanlah aliran abjad penambah ilmu pengetahuan dan inspirasi yang bersumber dari buku-buku, artikel, ataupun makalah. Tetapi, yang menjadi candu bagi pembaca muda kita adalah abjad yang tersusun dalam pesan singkat ( SMS ), status di facebook, atau sekedar untuk membaca “kicauan” status di twitter. Kalaupun mau membuka majalah atau Koran, biasanya halaman yang dituju adalah bagian ramalan bintang atau lowongan pekerjaan.
            Lebih dari itu, mari kita simak penggalan kalimat cerpenis kenamaan negeri ini, Seno Gumiro Ajidama yang dikutip oleh Nurani Soyomukti dalam bukunya “dari demonstrasi hingga seks bebas”. Beliau mengatakan. “……masyarakat kami adalah masyarakat yang membaca hanya untuk mencari alamat, membaca hanya untuk mengetahui harga-harga, membaca hanya untuk mencari lowongan pekerjaan, membaca untuk menengok hasil pertandingan sepakbola, membaca karena ingin tahu berapa persen diskon obral besar di pusat perbelanjaan, dan akhirnya membaca sub-title opera sabun di televisi untuk mendapatkan sekedar hiburan…..” pernyataan ini bisa menunjukkan keprihatinan Beliau tentang rendahnya minat baca masyrakat Indonesia.
            Fenomena ini terjadi karena budaya menonton masih jauh lebih kuat daripada budaya membaca. Ketika budaya membaca belum mengakar dengan kuat, bangsa kita sudah dibanjiri teknologi informasi yang jauh lebih memikat daripada menelusuri abjad-abjad yang tersusun dalam buku. Selain itu, juga karena dukungan dari operator penyedia layanan komunikasi dengan promo-promonya yang “menggiurkan” seperti gratis SMS sepuasnya, gratis chatting di fb dan twitt “segilanya”. Yang membuat para atlit “senam jari” ini semakin menjauh dari buku-buku sumber inspirasi dan pengetahuan. 
            Memang, tebalnya buku tampaknya masih menjadi daya tolak tersendiri bagi bangsa kita, buktinya mayoritas masyarakat terutama kaum muda lebih suka membaca SMS ataupun status di facebook daripada membuka halaman-halaman buku yang manfaatnya jauh lebih besar bila dibaca. Hal ini sungguh memprihatinkan, karena kemampuan baca masyarakat yang diasah dari mulai taman kanak-kanak hingga universitas hanya digunakan untuk membaca naskah-naskah “lain” yang manfaatnya masih diperdebatkan itu.
            Data dari Depdiknas tahun 2009 yang mengatakan bahwa 91% lebih penduduk di Indonesia yang berusia diatas 15 tahun sudah melek huruf , bisa dikatakan belum menjadi kabar gembira. Karena yang menjadi persoalan adalah, kemampuan membaca huruf tersebut belum digunakan untuk menggali tambang ilmu yang ada dalam buku. Kemampuan baca ini akan mubadzir alias terbuang sia-sia apabila yang dibaca hanyalah tulisan-tulisan “kosong” yang tanpa makna, tanpa inspirasi dan pengetahuan.
            Apabila kemampuan membaca kita tidak dimanfaatkan untuk  membaca buku-buku yang berguna, maka hampir bisa dipastikan laju kemajuan bangsa kita akan “mogok” di tengah jalan. Karena kreatifitas kita akan tumpul apabila tidak diasah dengan membaca buku. Naskah-naskah lain ( naskah yang kosong akan makna ) hanya akan menenggelamkan kita dalam lautan kemalasan dan gaya hidup “yang penting happy”. Padahal, kemajuan bangsa juga ditentukan oleh semangat dan ke-kreatifitas-an dari masyarakatnya.
            Dari sini, maka yang perlu dilakukan adalah mengalihkan minat baca masyarakat kita dari naskah lain ke naskah buku yang berguna. Cara yang bisa dilakukan misalnya. Dengan mempopulerkan membaca. Maksudnya, saat ini di Negara kita membaca buku masih dianggap sebagai kegiatan orang-orang “pintar” saja. Bahkan orang yang gemar membaca buku sering dianggap aneh dan dijuluki “kutu buku”. Ini berarti membaca buku masih terkesan “ekskusif” atau khusus bagi orang yang dianggap pintar saja. Maka dari itu, popular disini maksudnya membuat kegiatan baca buku sebagai kegiatan yang sudah “lumrah” tidak terbatas pada kalangan akademisi saja. Tetapi seluruh lapisan masyarakat dari mulai pak tani sampai abang tukang becakpun wajar jika gemar membuka buku. Kalau saat ini yang popular masih sebatas jejaring sosial, dari mulai anak-anak sampai ibu-ibu rumah tangga sudah wajar jika mempunyai account fb atau yang lainnya.
            Yang selanjutnya adalah dengan menyadarkan masyarakat akan pentingnya membaca. Untuk manfaat membaca, bisa dipastikan hampir semua orang sudah mengetahuinya, tetapi tidak menyadarinya. Maksudnya, terkadang seseorang sudah mengetahui bahwa membaca dapat menambah ilmu. Tetapi biasanya tidak menyadari bahwa ilmu tersebut dapat memperbaiki bahkan mengubah hidupnya menjadi lebih bak. Sehingga minat baca tidak tumbuh karena ketidak sadaran ini. Cara untuk menyadarkan bisa dilakukan melalui promosi dan sosialisasi. Saat ini, yang melakukan promosi hanya para penjual dan penerbit buku. Sedangkan pemerintah melalui perpustakaan hanya menunggu pembaca mendatangi gedung pepustakaan. Maka sudah saatnya pemerintah “menjemput bola”.
            Dan cara yang terakhir adalah menentukan target. Maksudnya, kita harus tahu siapa dan bagaimana kondisi pembaca. Karena masing-masing buku juga mempunyai target pembaca tersendiri. Buku tentang pertanian, cocok dibaca oleh petani. Buku tentang perikanan dan kelautan, cocok dibaca oleh nelayan, dan lain sebagainya. Maka dari itu, pemerintah melalui perpustakaan daerah harus mulai terjun ke lapangan, misalnya memberikan buku buku-buku tentang pertanian kepada kelompok tani. Memberikan buku tentang perikanan kepada kelompok nelayan. Memberikan buku-buku seputar social kepada organisasi-organisasi kemasyarakatan. Memberikan buku tentang science dan akhlak kepada para pelajar, dan seterusnya.
            Dengan begitu, maka diharapkan dapat mengalihkan minat baca masyarakat dari naskah-naskah lain yang “kosong” kepada naskah buku yang berisi ilmu dan inspirasi.

Minggu, 09 Februari 2014

Makam Tak Berjasad


                                                MAKAM TAK BERJASAD
Oleh : Rihan Nan
            Minggu 2013
Nisan tua dari kayu yang mulai rapuh itu tampak begitu mistis dengan asap kemenyan yang senantiasa mengepul di sekelilingnya. Beberapa orang di luar pagar bambu yang sengaja dibuat oleh juru kunci tampak begitu khusuk melafadzkan entah mantra atau do’a, meminta berkah dari sang empunya makam. Makam eyang Panji. Ya, eyang Panji adalah sosok yang dipercaya menjadi penghuni kuburan tua dibawah pohon akasia raksasa di hutan selatan kampungku.
Tidak ada yang mengenal secara pasti siapa eyang Panji. Hanya desas-desus yang kudengar, siapa saja yang berdo’a di kuburan tua ini, maka segala do’anya akan dikabulkan.
Ceritanya bermula ketika suatu masa Pardi mengaku bermimpi didatangi oleh seseorang renta memakai pakaian serba putih, mengaku benama eyang Panji. Orang renta itu mengatakan bahwa siapapun yang mau menjaga dan berkunjung kepada jasadnya, maka dia akan membantu menyampaikan do’anya kepada Tuhan yang agung, agar segera dikabulkan. Orang renta itu juga menunjukkan di mana tempat jasadnya dikubur.
Pagi harinya, setelah mendapat mimpi tersebut, Pardi segera meluncur ke tengah hutan di sebelah selatan desanya. Dia menerobos semak belukar dan rerimbunan pohon di hutan yang jarang disambangi manusia tersebut. Ketika dia sampai di sebuah pohon akasia besar, dengan cabangnya yang membentang bak tangan raksasa, lengkap dengan serabut akarnya yang menjalar ke segala penjuru mata angin, Pardi menemukan sepasang nisan yang tertancap di bawah tumpukan daun kering.
Sejak saat itu, Pardi selalu merawat makam yang dianggapnya keramat. Selama menjadi juru kunci di kuburan eyang Panji, Pardi sering mendesuskan kabar kepada penduduk desa, bahwa dia sering mengalami kejadian aneh. Perihal eyang Panji yang sering datang pada mimpinya, perihal do’anya yang sering dikabulkan, perihal penyakitnya yang sembuh setelah berkunjung ke makam tersebut, dan perihal-perihal lain yang bersifat ghaib.
Tak khayal, berita tentang kemanjuran makam eyang Panji segera menyebar ke seantero desa, bahkan sampai ke desa-desa tetangga. Perlahan, semakin banyak warga yang menyambangi makam tersebut. Tujuannya, untuk meminta do’a, agar dilancarkan rezeki, didekatkan jodohnya, atau disembuhkan penyakitnya.
Dan sekarang, meski sudah lebih dari lima puluh tahun semenjak Pardi menemukan makam itu, para peziarah semakin ramai mendatangi. Sementara Pardi yang sudah tua renta, tak punya daya untuk menjaga makam. Dia berniat Mewariskan posisi sebagai juru kunci kepada seseorang. Dan seseorang itu adalah aku. Ya, pemuda yang hampir menjadi gelandangan. Dulu ketika masih bocah, bapakku berkisah bahwa Pardi dulunya adalah tetangga kami. Namun pasca dia menemukan kuburan eyang Panji, Pardi memilih membangun gubuk di dekat makam, dan hidup dari sumbangan yang diberikan para peziarah.
Kini, setelah bapakku meninggal, hiduplah aku sebatang kara. Aku menjadi pemuda yang kesepian, pengangguran, jodohpun menjauhiku yang hampir seperti gelandangan. Apa daya, dalam keputus-asaan, kakiku melangkah ke kuburan eyang Panji. Berharap ada kekuatan ghaib yang dapat merubah jalan hidupku. Namun berminggu-minggu, sampai berbulan-bulan, tak jua nasibku berubah. Padahal selama itu aku menetap dan tidur di dekat makam eyang Panji.
Dan hari ini, Pardi memanggilku dan menjamuku di gubuk sederhananya. Dia berujar bahwa melihat sesuatu dari diriku. Sesuatu yang menurutnya membuatku pantas untuk menggantikannya menjadi juru kunci kuburan tua ini.
“sungguhkah kau ingin mengubah nasibmu?”. Ia bertanya.
Aku sedikit bingung. “iya ki..”. namun ku jawab dengan terus terang.
“bapakmu adalah temanku. Tidak tega aku melihat hidupmu berantakan”.
“lalu, apa yang akan ki Pardi lakukan untuk membantuku?”
“maukah kau menggantikan aku menjadi juru kunci di makam eyang Panji ini?”
“maaf ki, apakah aku pantas?”
“tenang saja, pantaslah kurasa kau menggantikanku. Di sini, kau bisa hidup sejahtera. Begitu melimpah harta yang disumbangkan para peziarah”
Aku sedikit tergoda, “apa syarat yang harus kupenuhi ki?”
“hanya satu, kau harus menjaga satu rahasia”.
“apa itu ki?”. Aku penasaran, dan ki Samuji mulai berkisah di selingi suara batuknya yang semakin parah.
**
Minggu 1963
Derap kaki yang sedang berlari memecah keheningan malam di hutan tak bertuan di selatan sebuah desa yang sedang terlelap. Nafas yang tersengal itu terdengar putus asa, dengan darah yang mengucur dari pelipis kepala dan juga mulutnya. Beberapa kali pria sekarat itu terjatuh, namun berusaha bangkit dengan sekuat tenaga guna melanjutkan langkahnya. Sesekali dia menoleh ke belakang dengan tatapan ketakutan.
Beberapa ratus meter di belakangnya, lima pasang kaki juga berderap kencang dengan pentungan dan parang di tangannya. Lima pria yang sedang terbakar amarah ini berusaha menggapai dan menghabisi seorang pria di depannya.
“tangkap! Potong lehernya!”. Terdengar teriakan kegeraman dari kerumunan pria tersebut.
“komunis keparat!”
“atheis laknat!”. Hujatan demi hujatan meluncur dari sekawanan manusia buas membelah malam temaram.
Pria sekarat dengan lumuran darah di sekujur tubuhnya itu sedikit bernafas lega. Ketika Sampailah ia di sebuah desa yang sunyi, di saat pulasnya tidur para penghuni. Dengan langkah terseok-seok pria itu menuju sebuah rumah reot di makan usia. Perlahan dia mendekati pintu, dan langsung disambut oleh sang empunya rumah.
“ah..Panji, apa yang terjadi?”. Tuan rumah tampak cemas, kemudian membaringkan tubuh pria itu di atas tikar.
“di..pardi..!! ambil air hangat!”. Tuan rumah memanggil anaknya.
“i..iya pak!”. Pardi yang masih remaja muncul dengan sebaskom air hangat.
“Rahasiaku bocor”. pria bernama Panji itu akhirnya mulai berucap dengan nafas sakratul ajalnya yang tersengal.
“apa?”
“i..iya, hati-hatilah. Jangan sampai mereka tahu kita pengikut partai komunis”. Pria itu memperingatkan. Namun tak lama, nafasnya yang tersengal mendadak tenang. Ayah Pardi menggoyang-goyagkan tubuhnya, namun tak ada respon. Pria itu mati!
“di..Pardi. kau harus merahasiakan ini”. Sang Ayah meminta.
Pardi masih terlihat heran. “bb..baik pak”. Dan dia hanya bisa menurut.
Akhirnya di tengah malam yang temaram dengan pancaran bulan sabit di atas awan, ayah dan anak itu membopong jenazah Panji ke tengah hutan di selatan desa mereka. Setelah sampai di bawah sebuah pohon akasia raksasa, mereka menggali liang lahat untuk sang jenazah, lalu menguburkannya. Namun tiba-tiba…
“hei..!! bangsat!!”. Sekawanan pria yang tadi mengejar Panji memergoki mereka.
“di..sembunyi”. sang ayah mencabut parang dari sarungnya. Dan Pardi bergegas bersembunyi di balik batang akasia raksasa, sembari menyaksikan pertarungan sang ayah dengan segerombolan pria berang tersebut.
“matilah kau musuh Tuhan..!”. sekawanan pria itu terus berteriak sembari menyabetkan parangnya. Sementara ayah Pardi yang kalah jumlah hanya bisa mengayunkan parangnya ke segala arah.
Pardi gemetar tak berdaya melihat ayahnya terkapar bersimbah darah. Dalam kegelapan malam dia saksikan pembantaian ayahnya oleh sekawanan pria yang tak ia kenal. Tidak cukup sampai di situ, merekapun juga membongkar makam Panji, lalu mengambil jasadnya dan melemparkannya ke atas jasad ayahnya. Kemudian salah satu dari mereka membuka botol berisi bensin dan menyiramkan ke jasad yang sudah tak berdaya. Dan…merekapun tersenyum lega melihat kobaran api menghanguskan dua jasad musuh mereka.
Pardi memberanikan diri keluar dari persembunyiannya setelah memastikan sekawanan manusia buas itu sudah pergi jauh. Dia berusaha untuk menahan air matanya, namun sia-sia. Air matanya bercucuran sembari menyaksikan abu jasad ayahnya dan Panji tertiup angin malam yang dingin menusuk tulang.
Hidup seorang diri membuat Pardi kebingungan dan kesepian. Tak tahu lagi apa yang harus ia perbuat untuk mengisi perutnya. Setiap hari ia hanya mengharapkan iba dari para tetangga agar memberinya makan. Ketika para tetangga bertanya kemana perginya sang ayah, hanya ia jawab sedang merantau ke kota.
Hingga pada akhirnya, ia punya satu cara untuk bertahan hidup. Ya, ia sebarkan kabar bahwa di tengah hutan sana, ada makam keramat, makam eyang Panji! Pardi sendiri yang memilih sebongkah kayu tua, untuk kemudian ia tancapkan ke kuburan Panji yang sudah kosong! Tak disangka, caranya ini berhasil dengan gemilang.
Tak peduli apakah do’a mereka benar-benar dikabulkan setelah menyambangi kuburan yang sudah tak bertuan ini, namun pada kenyataannya, para peziarah semakin ramai menyambangi.
**
Aku tertegun mendengar cerita dari Pardi sang juru kunci. Hampir aku tidak percaya. Tapi..ini cerita dari sang juru kunci. Aku hanya terdiam menatap para peziarah yang sedang khusuk berkomat-kamit di sekeliling makam eyang Panji. Makam yang sudah tak berjasad!